By: NTan SShee
(@nTansss)
Sudah pagi, saatnya sarapan.
Seperti biasa, aku sudah duduk dengan rapi sesuai kebiasaanku di coffee cafe ini. Kebiasaan yang selalu kuulangi setiap hari dan sudah hampir sepuluh tahun. Betul, aku sudah sepuluh tahun menjadi pelanggan tetap cafe ini setiap paginya.
Sebenarnya dulu, aku sangat membenci kopi. Mencium wanginya pun aku enggan. Namun semua ketidaksukaanku bisa kuubah seketika, saat aku bertemu dengannya. Semua kebencianku pada kopi dan hal-hal lain bisa kutekan menjadi rasa suka. Mungkin seolah tidak menjadi diriku memang, tapi aku menyukainya. Aku menyukai setiap hal saat aku berubah demi dirinya. Dia yang kucintai, namun tak mencintaiku.
Setelah pesanan kopiku datang, sebentar aku menciumi wanginya yang semakin kusuka belakangan ini, wangi kopi yang sepertinya mampu menggugah perasaanku menjadi lebih baik. Menyesap kopi ini perlahan, dan berharap sebuah bintang jatuh di atas kepalaku.
Wangi sekali...
Satu teguk, dua teguk.
Aku memperhatikan sinar mentari yang menyapa masuk dari celah gedung-gedung bertingkat di dekat coffee cafe di distrik Itaewon. Sangat ramai, tapi itulah kelebihan distrik ini. Di sinilah, pertama kali aku berjumpa dengannya, tepat sepuluh tahun yang lalu.
Saat itu, jika aku mengingatnya...
Dia berjalan santai dengan jaket hitam berkapucong hitam-marun. Sangat serasi dengan pilihan sepatu snickers-nya yang senada, dan topi kupluk hitam menempel di kepala. Kacamata ber-frame hitam tanpa kaca, serta hoody pants yang membuatku secara tidak sadar membuka mulutku setengah lebar.
Orang itu, lelaki itu, berjalan menapaki satu per satu paving block di trotoar distrik, saat aku sedang melihat-lihat jalanan ramai di sisi toko pakaian.
Jantungku berdegup. Seolah ingin pergi begitu saja dari tempatnya, dan memberontak untuk bisa bebas.
Ini bukan cinta pada pandangan pertama, bukan.
Ini rasa kagum pada pandangan pertama.
Lelaki itu makin mempercepat langkahnya, dan satu hal yang membuatku memperhatikannya dalam, dia memiliki wajah seperti pretty boy, namun gitar elektrik yang dijinjingnya di balik tubuhnya membuatnya nampak begitu gahar, begitu lelaki. Tidak cocok dengan tampangnya yang terlalu manis –atau apa pun namanya si pretty boy itu–, tapi aku menyukainya. Sangat.
Aku baru mengetahui namanya satu tahun setelah sering memperhatikannya dari kejauhan, Josh. Nama asing bagi orang Korea Selatan yang bermata sama sekali tidak bulat penuh. Josh sering melintasi daerah ini. Maklum saja, studio musiknya berada tepat beberapa blok dari coffee cafe, dan dia sudah pasti selalu lewat sini untuk latihan. Josh baru merintis kariernya sebagai artis, saat itu. Lima tahun sejak aku memperhatikannya saja, Josh masih sering latihan dan mulai mengeluarkan album indie. Aliran musiknya sangat konservatif, tidak sesuai dengan wajahnya. Padahal setahuku, Josh sudah sering ditawarkan menyanyi oleh agensi-agensi besar di sini. Tapi Josh hanya ingin menyanyikan genre musik yang disukainya, bukan pop.
Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit untuk mengagumi seseorang memang. Dan aku bukan sama sekali tidak pernah mencoba untuk berkenalan dengannya atau sekadar mengobrol santai. Josh bukan orang yang terbuka dengan sesuatu yang baru. Bahkan ketika aku mengenal hampir semua teman band-nya, hanya Josh yang selalu gagal untuk kutemui. Orang yang sangat aneh memang. Tapi dia unik. Dan sekali lagi, aku menyukainya.
Sekarang usiaku sudah 26 tahun, itu artinya sejak SMA aku sudah memperhatikannya. Selama itu juga, aku tidak pernah melihatnya berjalan dengan seorang perempuan. Aku sempat berpikir bahwa dia adalah gay. Untung saja aku mendapatkan info tentangnya yang sangat akurat, bahwa dia ‘normal’.
Ah, itu dia. Josh sudah hampir melewati coffee cafe ini.
Loh?
Selangkah demi selangkah namun pasti, Josh menjajakkan kakinya ke dalam coffee cafe, dan mulai memesan kopi kesukaannya (yang sekarang juga jadi kesukaanku).
Tidak biasanya aku bertemu dengannya di tempat ini. Ini kali kedua selama sepuluh tahun. Dan dalam dua waktu itu, aku hanya mampu memperhatikannya penuh sambil duduk dari kejauhan.
Saat pikiranku benar-benar terbenam dalam wajahnya, Josh menoleh dan menangkapku.
Aku kikuk.
Dan berusaha mengalihkan pandanganku ke luar, namun sayang. Mata Josh keburu mencurigaiku. Oh tidak...
Aku kemudian berdiri, dan menghapiri tempat Josh berada. Josh memperhatikanku bingung.
“Tae Hwan, boleh aku minta satu gelas kopi yang sama lagi?” Ucapku pada bartender di situ, sambil berpura-pura tidak memperhatikan Josh lagi dan kembali ke tempat dudukku setelah Tae Hwan mengiyakan order-ku.
Ah, untung saja kali ini aku masih bisa mengelak.
---
Terkadang aku memang sempat berpikir, mungkin akan lebih baik jika benar-benar bisa mengenalnya lebih dekat. Namun jika dia yang sulit kutemui?
Pernah suatu kali aku berniat menunggunya dan seolah salah mengenali gedung di dekat studio musiknya, tempat dia biasa berlatih band. Namun usahaku selalu gagal. Dia tidak pernah melihatku. Maka dari itu, aku berani menyimpulkan bahwa dengan melihatnya saja setiap hari, itu sudah cukup. Melihatnya tersenyum sedikit pada orang-orang di sekitarnya pun cukup. Atau memperhatikan dia dari kejauhan, bisa lebih dari cukup.
Tentu aku bukan seorang penguntit. Aku hanya menganggapnya vitaminku. Vitamin dari rasa sukaku, dan semenit pun aku tidak pernah memikirkan orang lain selain dirinya. Aku menyukainya, meski hal ini menyakitkan.
Menurut Min, aku sakit jiwa. Mungkin.
Aku punya banyak koleksi fotonya yang kukumpulkan diam-diam dan kulem di tiap sisi kamar tidurku. Sekali lagi, aku bukan penguntit. Aku hanya memotret dirinya dalam tiap pose saat aku bertemu dengannya, bukan sengaja menemuinya.
Aku pengagumnya. Mungkin itu kata yang tepat.
Sepanjang waktu aku bisa menyunting tiap gambar yang kudapatkan, menyatukannya iseng dengan beberapa koleksi gambar diriku sendiri. Seolah aku dan dia berfoto bersama. Kuulangi, aku hanya iseng.
Pernah suatu waktu Tae Hwan, si bartender coffee cafe, mendapatiku tengah menyiapkan kamera genggamku ke arah luar, tepat di mana Josh sedang bercakap-cakap dengan anggota band-nya yang lain di dekat cafe. Aku memang kaget. Tapi dengan alasan portofolio kampus, Tae Hwan mengamini alasanku. Syukurlah.
Sebenarnya Tae Hwan pernah ingin membantuku berkenalan dengan Josh. Tapi aku menolak. Aku hanya ingin Josh mengetahui diriku karena aku yang ingin dia tahu, dan karena usahaku sendiri. Bukan orang lain. Josh...
Kini aku sedang berdiri sendirian di depan trotoar, menanti lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Tidak ada pejalan kaki lain di sekitarku, hanya aku.
Mataku berkeliling ke sekitar gedung-gedung yang menjulang tinggi ke langit, sambil memainkan kakiku dan menggoyang-goyangkannya. Gedung-gedung ini kelihatannya semakin bertambah jumlahnya dari hari ke hari. Karena aku merasa Seoul menjadi kota yang sangat padat belakangan ini.
“Permisi.” Seru sebuah suara padaku.
“Ya.” Jawabku singkat, sambil sedikit menggeser tubuhku agar orang itu bisa berdiri di sisi jalan yang sama.
Aku masih belum menyadarinya, mataku masih memandangi deretan toko yang berjejalan.
Namun sebuah suara yang kukenal sedang menelepon, akhirnya menyadarkanku. Suara yang tidak asing.
“Noona, ya aku memang hampir sampai. Tidak, tidak. Jangan tunggu aku. Kalian duluan saja. Bukan, bukan begitu maksudku...” Suara lelaki itu nampak panik terburu-buru.
Aku menatapnya dalam. Suara itu milik Josh.
Dan kali ini aku berdiri tepat di samping Josh, Josh yang sedang menelepon.
Aku tersenyum riang. Kini takdir menjodohkan kami di trotoar sepi ini sambil menanti lampu berubah hijau.
Kalau sekarang aku mulai berdoa dan berharap satu waktu di mana dia benar-benar melihatku, apakah boleh?
Mungkin iya.
Aku pun memejamkan mata, dan mulai membuka terowongan pembicaraan hatiku dengan Tuhan.
Tuhan, kini aku benar-benar berharap dan memohon. Setelah hari ini, terserah apa yang akan terjadi. Tapi untuk hari ini, aku ingin dia melihatku, aku ingin dia mengenaliku, aku ingin dia. Hanya dia, Tuhan.
Kemudian aku membuka mataku.
Lampu pejalan kaki sudah berubah hijau, dan tidak lagi kutemukan Josh di sampingku. Josh sudah berlalu, aku kehilangan jejaknya.
Mumpung lampu masih hijau, aku harus mengejar cinta sepuluh tahunku itu. Mumpung lampu masih hijau, aku harus mengubah pola pikirku sebelumnya untuk bisa mengenalinya. Dan tidak menyia-nyiakan cita ini. Mumpung lampu masih hijau, aku akan mencarinya. Mumpung lampu masih hijau, aku akan...
TTTTTTTTTTTIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNNNNNNN.......
---
Aku mengerjapkan mataku.
Syukurlah, aku masih hidup.
“Nona... Nona...” Panggil sebuah suara lembut.
Sedikit bayangan lelaki pemilik suara yang sepertinya tengah berusaha menyadarkan rohku kembali ke raganya sembari menyanggaku di atas pahanya yang empuk. Ringan sekali, nyaman sekali rasanya.
Aku kembali mengerjapkan mataku.
“Josh...???” Ucapku terperangah lemah.
“Nona... Kau sadar?”
Itu Josh, dan dia berada di hadapanku.
Tuhan, terima kasih telah mengabulkan doaku. Doa pertama, dan doa terakhirku tentang dia.
Semenit kemudian, aku merasakan ragaku semakin ringan, dan rohku yang keluar dari raganya sambil tersenyum renyah ke arah lelaki pretty boy itu.
Terima kasih karena pernah menolongku, dan melihatku. Josh...
---