Thursday, June 9, 2011

Aku dan Boneka Kesayanganmu

By: NTan SShee
(@nTansss)

Matahari sudah lama menyingkir dari tempatnya tenggelam, dan sudah menyinari tempat lain, tempat yang mulai bersinar lalu meredup lagi. Aku menghela napasku dalam. Merapikan rambutku yang mulai melusuh, lalu mulai mempersiapkan kepulanganku dari lokasiku bekerja pada sebuah perusahaan iklan di tengah kota Shibuya.
Lega rasanya hari ini kembali berakhir seperti biasanya.
Dengan membara, kakiku melangkah menyusuri pertokoan superramai yang berjejer. Orang-orang berhamburan dari sudut-sudut kota. Semuanya sibuk, tidak satu pun yang bisa bersantai di sini.
Ada yang sedang merapikan mannequine di depan etalase butik, membuat hiasan dinding dan kerlip lampu di toko perhiasan, ada juga yang menjajakkan makanan di restorannya pada masyarakat yang melewatinya. Semua sibuk.
Aku masih menyuri jalanan ramai ini.
Di perbatasan Shibuya, aku menempati sebuah flat berukuran sedang seorang diri. Dengan kereta ekspress dari stasiun di dekat perusahaanku, aku pun tiba di flat-ku. Cukup setengah jam saja dari sana.
“Hai, Pika...” Sapaku sesampainya membuka pintu flat berwarna abu-abu yang terbuat dari besi pada sebuah makhluk mati yang imut kesayanganku. “Apa kau kesepian hari ini? Maaf, pekerjaanku sangat padat, jadi tidak bisa pulang cepat.” Makhluk mati itu kemudian kuturunkan dari tempatnya terpajang di atas meja kecil dekat pintu.

---

“Mitsubota Jin! Berhenti di sana!” Teriak suara seorang wanita padaku dari kejauhan di balik tubuhku yang hendak meninggalkan area kampus.
Dengan terpaku karena lengkingan suaranya, aku menghentikan langkahku, dan perlahan membalikkan tubuhku. “Rei...?” Aku tergagap.
“Jin...” Wanita itu berlari kencang ke arahku, dan seketika menjemput tubuhku ke dalam pelukannya. “Aku merindukanmu, sangat...” Ucapnya lembut. Aku merasakan senyuman di bibirnya melebar di atas bahuku.
Ah... Pelukan ini, sepertinya sudah lama sekali aku merindukannya. Hangat, bersahabat, dan yang pasti aku menyukainya. Pelukan yang sudah lama kunanti...
“Hei, apa kau tidak merindukanku? Mengapa tidak membalas pelukanku?” Aku mengikuti ucapannya untuk kembali memeluknya. “Mengapa tidak menjawab? Perpisahan ini membuatmu bisu? Jin...” Protesnya bertanya panjang lebar.
Aku hanya tidak bisa menjawab, aku hanya terkejut, dan aku hanya ingin memeluk tubuh ini, bukan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir merah muda Rei.
Rei melepaskan pelukannya, lalu memandangi wajahku hangat.
“Ponimu masih seperti ini,” Ucapnya sambil menyentuh lembut poniku. “hidungmu masih sama seperti dulu, matamu juga masih sesipit mataku, bibirmu masih merah. Jauh lebih merah dari milikku.” Rei terus berceloteh sembari menyentuh hidung, mata, dan bibirku saat bicara.”Ah, aku benar-benar merindukan lelaki ini...” Ujarnya sambil tersenyum. Terlihat jelas guratan keriangan dan kegembiraan di wajahnya.
“Rei...?” Ucapku masih terbata.
Rei kembali tersenyum. “Kau tidak gembira aku kembali, Jin?”
“Bu, bukan begitu. Tidak seperti itu. Aku, aku hanya terkejut.”
“Bagaimana bisa kau hanya menggumamkan namaku saja dari tadi?” Lagi-lagi Rei protes, lalu tersenyum dan kembali memelukku. “Pelukan ini, sangat hangat. Bagaimana bisa aku meninggalkan pelukan ini berbulan-bulan, ya?” Ucapnya pelan. Tapi aku masih bisa mendengar suaranya.
Lima menit kemudian setelah Rei benar-benar menumpahkan kerinduannya padaku, kami memutuskan untuk melanjutkan pertemuan kami di cafetaria Universitas Kobe.
“Kapan kau kembali?” Tanyaku singkat setelah kami menemukan sudut cafetaria favorit kami, yang biasa kami datangi saat Rei belum pergi meninggalkanku.
“Satu jam yang lalu. Dan aku langsung mencarimu ke sini.” Ucap Rei, matanya masih saja belum beranjak memperhatikanku.
“Bagaimana kabarmu?” Ah, pertanyaan yang garing.
“Bagaimana kabarku? Seperti yang kau lihat, aku baik. Aku lihat, kau yang berubah aneh. Apakah menyakitkan berpisah denganku, Jin?” Tanyanya usil.
“Ya, sangat. Kau gembira, meninggalkanku?” Giliran aku yang protes.
Rei tersenyum, dan pindah dari posisi duduknya di hadapanku menjadi di sampingku. “Aku sama sekali tidak gembira meninggalkanmu, Jin.” Rei kemudian menjatuhkan kepalanya ke bahuku. “Ini juga menyakitkan untukku. Maaf, Jin.”
“Sudahlah, yang penting kau sudah kembali.” Aku menarik napasku lega, sambil mengelus lembut rambut panjang berikalnya.
Rei terlihat lebih kurus, daripada empat bulan yang lalu saat dia meninggalkanku menuju China. Entahlah untuk apa dia ke sana.
Kami berpisah empat bulan yang lalu di apartemenku. Awalnya Rei hanya mengatakan dia ingin ke China untuk berlibur. Tapi setelah itu, setelah hari keberangkatannya, Rei mengganti nomor ponselnya, tidak mengirim e-mail atau surat, dan aku tidak tahu dia berada di China bagian mana. Kami kehilangan kontak. Dia sama sekali tidak pernah memberiku kabar atau hal-hal semacamnya.
Aku sempat berpikir dia mati, tapi kemudian dia muncul di hadapanku hari ini. Rei belum mati, dia masih hidup. Syukurlah.
Saat ini Rei bercerita mengenai liburannya di China selama empat bulan yang lalu. Wajahnya diliputi kegembiraan, tergurat jelas di situ. Aku hanya meratapi ceritanya dengan senyuman, dan sesekali mengeluarkan kata-kata semacam “Wah, Oh, Heum” dan semacamnya. Aku cukup senang dengan kehadirannya saja, tanpa cerita-cerita yang dia katakan.
“Jin, apa kau lihat sesuatu yang beda dariku?” Tanyanya tiba-tiba, memotong ceritanya sendiri.
Aku mengangguk. “Sedikit. Kau, terlihat lebih kurus. Dan wajahmu, memerah. Apakah di sana sedang musim panas, sampai-sampai kau seperti ini, Rei?”
Rei menggeleng. Dia sudah kembali ke kursinya di hadapanku. “Tapi aku yakin, aku tetap cantik, bukan?”
Aku melebarkan senyumanku. “Kau yang tercantik. Wanita tercantik di muka bumi ini, Rei.”


“Apartemenmu masih tidak berubah. Fotoku, kau masih memajangnya di sini? Wah... Kau semakin rapi saja, deretan buku kesukaan kita masih kau simpan dengan baik. Dan ini, kupon-kupon taman bermain, kau juga masih merawatnya dengan baik?” Rei memeriksa satu per satu sisi apartemenku, beserta barang-barang di atasnya. Dia selalu sibuk mengomentari ini semua. Tidak pernah berubah.
Aku mengikuti Rei dari belakang, sambil tersenyum saat barang-barang itu diperhatikannya.
Rei kemudian menjatuhkan tubuh mungilnya di atas sofa merah di ruang keluarga.
“Sofa ini, aku juga merindukannya. Ah, semua hal tentangmu membuatku rindu, Jin.”
“Bagaimana dengan strawberry milkshake kesukaanmu, apa kau mau aku membuatkannya untukmu seperti biasa, Rei?”
Rei terbangun dari posisinya dan segera menolak. “Tidak, aku sudah menghentikan semua kebiasaanku mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat.”
“Maksudmu?”
Rei nampak berpikir mencari alasan. “Heum, aku hanya ingin sehat. Air putih, ya, cukup air putih saja yang tidak dingin.”
Rei seperti menyembunyikan sesuatu.
“Ini...” Rei kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik tas ranselnya yang dia jinjing dari tadi, memberikan makhluk mati imut padaku berwarna coklat.
“Kau tidak perlu memberiku oleh-oleh. Lagipula, aku tidak suka boneka. Kau tahu itu.”
“Namanya Pika. Bukan oleh-oleh. Tapi aku mau kau yang menjaganya.”
“Menjaga bonekamu?”
Rei mengangguk, aku tidak memahami jalan pikirannya saat ini. “Aku hanya percaya padamu. Aku sangat menyayangi Pika, dan aku mau kau yang menjaganya, Jin.”
“Kenapa bukan kau saja, kalau kau menyayanginya?” Tanyaku polos.
“Aku takut aku tidak bisa menjaganya. Jadi aku mau kau yang menggantikanku menyayanginya.” Mata Rei kini mendadak kosong, menatap langit-langit apartemenku yang kutempeli stiker awan.
Aku yakin, Rei menyembunyikan sesuatu.
“Ada apa denganmu?” Selorohku.
Rei menghela napas panjang, dan memandangi mata sipitku dalam. “Kau harus membersihkan tubuh Pika setiap hari, mengganti pakaiannya kalau kotor, menceritakan segala apa yang terjadi padamu, menyelimutinya kala tidur, dan jangan meninggalkannya kalau kau tidak kembali ke apartemenmu atau menginap di tempat lain.”
“Kau bicara apa, Rei? Apa kau mau pergi? Ada apa sebenarnya?” Pertanyaan ini dan penjelasan Rei barusan membuatku takut.
Rei menundukkan kepalanya lesu. “Aku mau kau menjaganya, seperti aku menjaga Pika.” Rei mulai mengelus kepala Pika dengan penuh kasih. “Pika, kalau bukan denganku, kau harus baik-baik dengannya. Namanya Jin. Dia sangat baik, tidak akan menelantarkanmu.”
“Rei, ada apa ini?” Aku terus saja bertanya.

---

“Pika, apa kau merindukannya?” Tanyaku pada makhluk mati itu, boneka kesayangannya.
Aku tahu, Pika tidak akan menjawab. Apalagi memberi masukan padaku agar aku tidak terus-menerus hidup dalam kesedihan seperti ini.
Setelah kepergian Rei satu tahun yang lalu karena leukimia yang menggerogoti hidupnya, aku hanya memiliki Pika sebagai penggantinya. Jika kupikirkan kejadian itu lagi, pantas saja Rei meninggalkanku begitu saja selama empat bulan. Memang, dia mengatakan kalau dia ke China untuk liburan. Ternyata dia berbohong, dia ke China untuk berobat, mengobati leukimia-nya secara tradisional. Namun terlambat, satu bulan kemudian Rei pergi, dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk melakukan chemotherapy.
Rei-ku yang malang...
“Pika, aku merindukannya. Sangat merindukannya. Aku janji, akan selalu menjagamu. Tenang saja.” Ucapku pada Pika. “Rei, maaf belum sempat mengatakannya sewaktu kau masih hidup. Tapi kau pasti tahu itu.” Air mataku perlahan meluncur dan membasahi pipiku. “Aku mencintaimu, Matsumoto Rei.”

---

No comments:

Post a Comment