Wednesday, June 8, 2011

The Long Way (to be) With You

By: NTan SShee
(@nTansss)

Hai, cinta sejatiku.
Di manakah dirimu kini?
Taukah kau, bahwa aku terus saja menunggumu?
Mencarimu yang entah di mana itu, mencarimu yang entah kapan datangnya.
Hai, cinta sejatiku.
Maybe it will be the long way to be with you.
Someday.

Aku masih termenung di dalam kereta super-ekspress yang melaju superkencang di kawasan sentral daerah Seoul. Aku masih merasa kelelahan, seolah tenagaku habis namun tak kunjung tergantikan.
Aku melihat sekeliling, hanya ada deretan dinding berwarna putih yang tampak. Maklum saja, kereta ini memang berada di dalam tanah. Satu per satu penumpang di dalam kereta kuperhatikan.
Seorang dengan jaket tebal berwarna abu-abu dan berkulit putih pucat. Mungkin perempuan muda ini ingin menemui kekasihnya. Ada pula seorang laki-laki separuh baya dengan mata yang mulai berkerut. Sepertinya terlalu berat kerjanya semalam. Dan seorang nenek dengan sweater berbulu domba cantik berwarna merah. Wajahnya amat cerah dan seolah tidak memikirkan usia senjanya yang mungkin saja sudah akan berakhir.
Ahhh... Mata ini kembali memperhatikan semua orang.
Aku tahu memang ini tidak baik. Tapi siapa tahu, di antara kerumunan itu, ada dia. Dia yang selama ini kucari di dalam mimpiku.
Entah seperti apa rupanya, perawakannya, atau bahkan tinggi badannya. Aku tidak mengetahuinya. Aku hanya hapal suaranya. Yang melengking tinggi dengan oktaf tertinggi yang bisa dicapai seorang laki-laki. Aku hanya mengetahui hal itu.
Kini dengan gontai kupaksa kakiku berjalan keluar stasiun.
Matahari siang terlalu menyengat, membuatku menutup sebagian mataku dengan tangan.
“Ana-ssi...” Lirih sebuah suara menggumamkan namaku. Nona Ana.
Suara yang mungkin saja kukenali.
Seketika aku menoleh, mencoba melihat sekelilingku. Mencoba menangkap gelombang suara yang baru saja membisikkan namaku.
Nihil.
Aku tidak menemukan apa-apa di tempatku sekarang berdiri. Di sebuah taman di pusat kota Seoul yang ramai.

---

“Ana-ssi...”
Lagi-lagi aku mendengar suara itu, kala aku mulai mencoba memejamkan mataku di dalam sebuah perpustakaan yang akhir-akhir ini sering kudatangi.
Ah, mungkin memang tidak ada apa-apa.
Aku pun memutuskan untuk benar-benar melelapkan diriku di atas salah satu meja superpanjang di dalam perpustakaan. Meja yang terbuat dari kayu pipih yang sangat bersih. Satu hal yang kusukai dari perpustakaan ini; sepi. Jadi aku bebas datang kapan saja untuk menghabiskan waktuku di sini. Meskipun aku jarang membaca satu buku pun di antara ribuan jenis dan judul buku yang tersedia.

---

Nampak sebuah dunia baru terhampar luas di hadapanku kini.
Hanya ada sebuah kaktus besar dengan duri yang juga besar, dan terasa ingin menusuk manusia yang berlalu di sampingnya. Kaktus itu berwarna hijau pekat, bukan hijau layaknya kaktus seperti kebanyakan. Kaktus yang kokoh dan berdiri menjulang menusuk langit.
Aku berjalan tertatih. Napasku terengah.
Pasir-pasir berwarna broken white ini seakan membuat langkahku semakin berat. Kaki ini terasa sangat enggan kuangkat. Kaki ini terasa sangat lelah untuk kembali melangkah.
Namun aku tetap mencoba dan mengangkat tinggi-tinggi kaki ini.
Entah apa yang kupikirkan sekarang. Entah apa yang sedang kucari. Tapi mata ini seolah menjelajahi tiap sudut padang pasir tandus ini mencari sesuatu.
Kakiku masih sulit melangkah, tapi setidaknya lebih baik. Karena sedikit demi sedikit aku mampu berjalan.
Satu kilometer sudah aku berjalan.
Kini aku berada di atas sebuah puncak pasir yang kokoh, memandang sekeliling. Tidak ada satu orang manusia pun di sana. Hanya ada aku. Melihat suasana ini, apakah aku boleh berpikir kalau ini adalah surga? Atau mungkin neraka?
Ah, tidak mungkin.
Aku belum merasakan ajal, apalagi mati sebelumnya. Tepatnya aku memang tidak mengingatnya. Tapi mungkin saja ini adalah surga. Tapi surga mana yang hanya ada pasirnya? Dan tidak ada manusia lain di tempat yang kuanggap surga ini?
Kelelahan semakin terasa, dan aku merasa sangat haus sekarang.
“Ana-ssi...”
Sebuah suara yang kukenal tiba-tiba memekik dari kejauhan.
Suara yang memang kutunggu-tunggu. Suara yang memang selalu ingin kuketahui siapa pemiliknya. Dan suara yang memang aku sangat ingin berjumpa dengannya. Suara itu... Suara yang selalu ada jauh di dalam ingatanku. Ingatanku, yang entah ada di mana.
Aku membalikkan kepalaku ke belakang, mencari asal suara yang memanggil namaku. Mataku pun menangkap sebuah cahaya putih kemilauan yang berjalan semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat padaku. Sebuah cahaya yang berubah menjadi sesosok laki-laki dengan balutan pakaian yang berwarna putih juga. Warna yang sama seperti yang kukenakan sekarang. Laki-laki itu...
Aku memandangi wajah laki-laki itu.
Masih tidak jelas.
Aku kembali menekan pandanganku untuk menangkap raut wajahnya lebih jelas.
Masih juga tidak jelas.
Namun satu hal, aku melihatnya tersenyum ke arahku. Aku melihatnya gembira, karena seolah telah bertemu denganku.
Tapi aku masih di posisi yang sama, aku terpaku tanpa bisa tahu siapa dia sebenarnya. Aku masih terpaku tanpa mengerti kejadian yang sesungguhnya.
“Ana-ssi”
Laki-laki itu membuka mulutnya, dan menyerukan namaku seketika. Aku yakin, dia pasti orang yang sama dengan laki-laki yang selalu memanggil namaku sebelum-sebelumnya. Di alam mimpi. Maupun di dunia nyata.

---

Sekembalinya dari perpustakaan, aku memutuskan untuk mengunjungi salah satu cafe di kawasan Apgujeong-dong. Sekedar meminum beberapa gelas soju (minuman khas Korea). Otakku terlalu penat akibat mimpi tadi.
Aku suka cafe ini. Tidak terlalu ramai, meski berada di salah satu distrik paling ramai yang ada di Seoul. Aku paling suka musik yang disuguhkan di sini, jazz. Aku tahu, tidak semua orang menyukai musik ini, tapi aku menikmatinya.
Mataku kemudian beranjak pada sebuah kursi kosong di hadapanku yang kemudian diisi oleh sebuah tubuh tidak terlalu kekar, memesan soju yang sama denganku.
“Aku minta soju, 2 botol.” Begitu ucapnya.
Setelah mendapatkan pesanannya –yang tanpa sadar mataku terus memperhatikannya– lelaki itu dengan sigap menenggak soju langsung dari botolnya, tanpa dituang terlebih dahulu ke dalam gelas.
Apa lelaki ini sedang penat?
Ah, sepertinya dia setengah mabuk sekarang.
Lelaki itu kemudian mendatangi panggung yang ada di balik bar, dan membisikkan sebuah kalimat pada seorang pemain band di sana. Sepertinya dia meminta untuk diiringi sebuah musik.
Benar saja, sebuah lagu jazz lama terlantun. Aku tidak begitu hapal siapa penyanyinya, tapi lagu ini sangat terkenal waktu itu.
Lelaki itu membuka mulutnya, dan mulai menyumbang suaranya.
Sangat merdu, suaranya melengking tinggi.
Ya Tuhan, suara ini.
Tiba-tiba aku terhenyak, kala kuresapi suaranya dalam. Suara ini, seperti suaranya. Suara laki-laki yang ada dalam mimpiku itu, suara laki-laki yang selalu kucari. Ya Tuhan...
Bait demi bait terlantun kembali, aku semakin yakin.
Riuh pengunjung cafe yang hanya ada beberapa terdengar di telinga, dan aku tersadar kala lelaki itu sudah ada di hadapanku.
“Kau suka lagunya, Nona?” Tanyanya tiba-tiba.
Aku mengerjapkan mataku, sekali, dua kali. Kemudian menelan ludahku perlahan. “A... Apa?”
“Lagu ini, kau menyukainya?” Tanyanya mengulangi.
Aku mengangguk ragu. “Ya, dan suaramu bagus.”
Lelaki itu tersenyum. Pipinya sudah merona merah, hidungnya juga ikut memerah. Dia setengah mabuk.
Tanpa kuduga, lelaki itu duduk tepat di hadapanku, di sebuah kursi kosong. Dia mulai menatapku aneh.
“Tuan, ada apa denganmu?”
Lelaki itu kembali tersenyum dan menggeleng perlahan.
“Sepertinya aku pernah melihatmu, di mana, ya?” Tanyanya dengan suara pelan. “Apa karena aku sudah agak mabuk, aku jadi berhalusinasi seperti ini, ya?”
Aku semakin bingung.
“Nona, apa kau pernah bersekolah di Jepang?”
Aku menggeleng.
“Kau kuliah di Sejong University?”
Aku lagi-lagi menggeleng.
“Atau kau tetanggaku di apartemen Gangnam?”
Aku masih terus menggeleng. Orang ini benar-benar aneh.
“Aku yakin pernah melihatmu.”
Ya Tuhan, begitu pula aku.
Sedekat ini berbicara dengannya, mendengarkan suaranya, dan melihat dalam matanya meskipun dia setengah mabuk, rasanya aku pun mengenalnya.
“Permisi, Tuan.” Panggilku sopan. “Kau, pernah berada di padang pasir dengan mengenakan setelan putih?” Tanyaku agak melantur.
Sumpah, ini pertama kalinya aku berkata di luar nalarku. Aku hanya penasaran, dan tidak bisa menahan pertanyaan yang selalu kutitipkan pada diriku sendiri mengenai laki-laki dalam mimpiku itu.
“Padang pasir? Hei... Ini Korea, padang pasir itu ada di Timur Tengah, Nona.” Selorohnya padaku. “Tapi tunggu...”
Lelaki ini nampak sedikit berpikir.
“Mungkin pernah. Saat itu aku bersama seorang wanita. Entahlah... Aku tidak begitu mengingatnya.” Lelaki itu kemudian menenggak soju-ku yang ada dalam genggamanku dan menghabiskan satu botol penuh milikku. Sedangkan miliknya, tertinggal begitu saja di atas mejanya di depan mejaku.
“Wanita? Bisakah lebih jelas kauberitahu aku?”
Aku merasa permintaanku aneh.
Dia menatapku gusar, dan kemudian kepalanya terkulai lemas di atas mejaku.
“Tuan, Tuan...” Panggilku sembari mencoleki lengan atas kanannya. Laki-laki ini benar-benar mabuk sekarang.
Oh tidak, pertanyaanku belum terjawab dan dia sudah mabuk?
“Ana-ssi... Ana-ssi...” Gumam lelaki itu pelan.
Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya. Namun kudekatkan telingaku pada tubuhnya.
“Ana-ssi...”
Aku menarik tubuhku. Mataku terbelalak.
“A...Ana-ssi? Itu, bukankah itu namaku?” Aku pun bergumam pada diriku sendiri. “Tuan, apa tidak salah memanggil nama orang? Tuan...” Aku menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu sedikit keras agar dia mau terbangun.
Ya Tuhan, benarkah lelaki ini yang selalu hadir dalam mimpiku?
“Hei... Jawab aku, kau... Apa kau tidak salah memanggil namaku? Hei...”
“Ana-ssi...”

---

1 comment:

  1. horee happy ending
    seneng akhirnya si ana ketemu sama mr.dream
    tp cowoknya mabok hehehe

    ReplyDelete