Tuesday, June 14, 2011

BUNGA-BUNGA ORIGAMI

By: NTan SShee
(@nTansss)

Ini bunga origamiku yang pertama, warnanya merah muda. Aku melipatnya dengan sangat hati-hati dan teliti. Ke kanan, ke kiri, lalu menekannya sedikit agar ikatannya erat. Setelah siap, aku pun menghiasi bunga itu dengan kelopak dari lipatan origami berwarna merah terang. Tidak lupa kuselipkan batang yang panjang di bawahnya agar bunga itu bisa kutegakkan.
Bunga origami pertamaku sudah selesai. Aku siap memberikan bunga ini padanya. Shi Wan oppa (kakak lelaki), tunggu aku...
Ah, aku lupa. Namaku Ji Wan, Baek Ji Wan. Aku bekerja sebagai tenaga kreatif di stasiun televisi kabel khusus saluran musik. Aku satu-satunya wanita yang paling cerdas dalam hal kreativitas program acara musik yang bisa disaksikan para pecinta musik yang berlangganan televisi kabel perusahaanku. Aku biasa bekerja tidak kenal waktu, dari pagi hingga pagi lagi. Namun tidak jarang aku punya waktu luang untuk me-refresh-kan otakku agar daya kreativitasku tetap ada. Dan satu hal menurut teman-temanku yang kumiliki sebagai kelebihan, aku orang yang selalu ceria dan bersemangat.
Seperti hari ini.
Hari di mana aku memutuskan untuk mulai menyukainya, Shi Wan oppa. Dia adalah saxophonist di tempatku bekerja, dia baru bergabung bersama kami selama dua minggu.
Orangnya sangat pendiam, aku bahkan tidak pernah melihatnya berbicara dengan seorang wanita pun secara serius kecuali pada Doo Ri onnie (kakak perempuan), salah satu produser acara musik kami. Itu pun mengenai hal pekerjaan. Sisanya, dia hanya berbicara pada laki-laki. Aku bahkan sempat berpikir kalau Shi Wan oppa adalah seorang gay. Tapi syukurlah, dugaanku salah. Shi Wan oppa lelaki sejati, dia normal. Aku menyadarinya saat tidak sengaja aku menemukan foto mantan pacar Shi Wan oppa di homepage miliknya, saat iseng mencari tahu tentang dirinya.
Syukurlah.

---

Aku sudah siap dengan bunga origamiku. Pagi ini, misi pertamaku seharusnya berhasil.
Selesai mengenakan make up merah muda natural, aku siap meninggalkan apartemenku di kawasan distrik Itaewon, menuju tempatku bekerja di kawasan Rodeo Apgujeong. Tidak terlalu jauh. Makanya aku tidak pernah mengendarai mobilku ke sana. Aku senang dengan menggunakan bus. Menikmati udara Seoul yang mulai berpolusi, tapi aku mencintai kota ini. Kota terbaik sepanjang masa.
Menunggu sebentar di halte yang tidak jauh dari apartemen, akhirnya aku mendapati bus tujuanku. Setengah jam saja, aku sudah tiba di kantor.
Aku menenteng bunga origamiku di sisi kanan tubuhku, takut ketahuan teman-teman lain. Ini misi pertamaku, jadi aku tidak mau gagal.
“Hai, Ji Wan...” Sapa seorang teman.
“Selamat pagi, Jong Hyeok oppa.” Aku menyapanya balik.
“Apa yang kau sembunyikan?” Tanyanya penasaran, sambil menghentikan langkahnya di sampingku. Semula dia ingin ke ruang master control, tapi curiga dengan tingkahku menyembunyikan bunga origami.
“Ah, bukan apa-apa.” Aku mengelak. “Kau lanjutkan pekerjaanmu, aku mau ke studio.” Buru-buru aku mengganti topik, lalu menyudahi pembicaraan kami dan dengan cepat berjalan mencari Shi Wan oppa.
Aku menyusuri lorong-lorong kantorku yang berlantai lima.
Lantai pertama, nihil. Lantai kedua, Shi Wan oppa tidak ada. Lantai ketiga, dia tidak di sini. Lantai keempat, ah itu dia.
Tapi aku tidak boleh ketahuan. Aku memulai menjadi secret admirer-nya, bukan penggemar sungguhan yang nampak di depan mata.
Aku mulai memperhatikan Shi Wan oppa di studio 2 ini. Sepertinya dia akan melakukan tapping untuk acara akhir pekan ini, bersama sebuah grup band yang sedang naik daun di Korea, CN Blue. Selain Shi Wan oppa, masih ada pemain pendukung yang lain di situ.
Lalu aku mulai berpikir, aku harus meletakkan bunga origami ini di mana?
Setelah beberapa saat mataku mencari celah, aku memutuskan untuk menuju sebuah ruang kosong di backstage studio 2. Alhasil, aku menemukan tas saxophon Shi Wan oppa bersama tas-tas lain di atas kursi di dalam ruangan ini.
Sedikit memastikan tidak ada orang lain, kepalaku celingukan. Sepi. Baiklah, misi pertamaku dimulai. Aku pun tidak buang waktu, dan segera meletakkan bunga origami pertamaku di atas tas saxophon Shi Wan oppa yang tertutup.
Berhasil.
“Shi Wan oppa, aku Ji Wan. Selamat menerima bunga-bunga origami ini mulai hari ini, dan hari-hari selanjutnya.” Aku tidak lupa menyematkan sebuah senyuman cantik dalam ucapanku. Aku tahu Shi Wan oppa tidak mendengarnya. Tapi aku cukup terhibur dengan kata-kataku barusan.

---

Misi keduaku keesokan harinya, harus sukses seperti kemarin.
Entahlah, bagaimana ekspresi Shi Wan oppa saat melihat bunga origamiku kemarin. Aku hanya mampu bermain dengan imajiku sendiri, bahwa dia terkejut tetapi menyukainya.
Bunga origamiku hari ini berwarna merah darah, dengan kelopak berwarna merah muda. Kebalikan hari kemarin. Aku memang sengaja tidak akan membuat bunga origami dengan warna yang sama. Supaya kreasiku tetap bertambah, dan aku tidak akan bosan membuatnya.
Pagi ini semangatku kembali membara, dan mulai mencari keberadaan Shi Wan oppa. Karena hari ini kami ada syuting untuk acara live di studio 1, otomatis aku dan Shi Wan oppa akan bertemu. Dia di depan kamera, dan aku di belakang kamera. Aku bisa fokus melihatnya.
Hidungnya yang setengah mancung, alisnya yang sedikit tebal seperti ulat bulu menempel, matanya yang besar namun tetap menyipit, dan bibirnya yang merekah. Semuanya terlihat begitu sempurna di mataku sekarang. Apalagi dengan kemahirannya meniup saxophon. Dia terlihat seksi dengan melakukan itu. Suara saxophon-nya pun terlihat sangat merdu di telingaku. Padahal, sebelumnya aku tidak pernah menyukai bunyi yang keluar dari alat musik itu karena kuanggap sangat aneh dan membosankan. Tapi sejak Shi Wan oppa yang memainkannya, semuanya terasa sangat berbeda. Terdengar lembut, beat, tapi romantis. Sempurna.
Karena Shi Wan oppa masih sibuk dengan urusan syuting live-nya, aku pun leluasa untuk menemukan tasnya di ruang make-up, tepat di samping pintu belakang studio ini. Dan karena tidak ada orang lain di ruangan ini, aku pun dengan cepat memasukkan bunga origami keduaku di dalamnya. Aku tidak mau orang tahu ada bunga origami jika kuletakkan di atasnya.
Aku berhasil.

---

Ini sudah tepat satu minggu sejak aku mengirimi Shi Wan oppa bunga-bunga origamiku. Dan semuanya berhasil dengan sempurna. Tapi aku masih belum mengetahui tanggapannya. Meskipun sebenarnya aku penasaran, tapi aku kan secret admirer, jadi aku bertingkah cool saja dengan tidak mencari tahu.
“Ji Wan noona (kakak perempuan), kau dipanggil Shi Wan hyeong (kakak laki-laki).” Beritahu Jin Wook padaku. Dia adalah juniorku di bagian yang sama denganku.
Shi Wan oppa mencariku?
Tanpa pikir panjang, aku segera menemuinya.
Secepat ini sudah ketahuan?
“Iya, ada apa, oppa?” Tanyaku dengan senyuman mengembang. Aku sedikit takut, apa mungkin ini ada hubungannya dengan bunga-bunga origamiku?
“Untuk live besok, tolong buatkan aku rencana setting yang baru dan lebih baik dari saluran televisi lain. Aku mau kita berbeda. Oke?” Perintahnya padaku.
Dia memang terkenal agak sinis seperti ini.
“Baiklah. Tapi kenapa tiba-tiba ingin sesuatu yang berbeda?”
“Pemikiran Cha PD terlalu sederhana, aku ingin sesuatu yang baru. Itu saja.” Oh, rupanya itu karena Cha PD (Program Director). Hampir saja jantungku mau lepas.
“Baik, akan kubuatkan sekarang.” Aku pun pamit pada Shi Wan oppa dan membungkukkan sedikit tubuhku padanya sebagai tanda hormat.
Shi Wan oppa tidak tersenyum, mengucapkan terima kasih, atau sedikit bersuara. Dia diam saja. Sebenarnya oppa ini sakit atau kenapa?
Sesampainya di ruangan kerjaku di lantai dua, aku pun segera mengerjakan apa yang diminta Shi Wan oppa dengan laptop-ku.
Satu jam.
Dua jam.
Rencana setting yang baru untuk besok pun selesai. Aku pun segera mencetaknya dan kembali mencari Shi Wan oppa untuk memberikan detail kreatif ini padanya.
Semoga dia menyukainya.
“Gomawo.” Ucapnya singkat berterima kasih padaku. Dan satu hal, tanpa tersenyum.
Baiklah, tidak apa. “Ya.” Ucapku singkat.
Shi Wan oppa kembali melakukan aktivitasnya semula dengan saxophon-nya. Memainkan bait demi bait lagu-lagu yang akan dimainkannya untuk besok.

---

Tidak terasa, bunga origamiku untuk hari ini adalah bunga origami ketiga-puluh. Dan hari ini aku berkreasi dengan warna biru laut dan kelopak berwarna emas.
Aku memang hebat. Dalam satu bulan ini, Shi Wan oppa tidak menemukanku. Padahal gosip yang sudah beredar selama satu minggu ke belakang ini, ada seorang fans gila yang membuntuti Shi Wan oppa dan mengiriminya bunga-bunga origami setiap hari.
Aku tersenyum puas.
Kuletakkan dua buah stiker bergambar hati di sisi kanan dan kiri bunga origami ini. Sedikit berbeda, karena ini bunga origami ketiga-puluhku.
Aku berangkat lebih pagi hari ini. Karena syuting akan dimulai lebih awal. Dan aku berniat untuk datang lebih dahulu daripada Shi Wan oppa. Karena aku berdandan lebih feminin hari ini, dengan blush-on berwarna merah muda yang sengaja kupakai di kedua pipiku.
Sekali-kali, aku ingin Shi Wan oppa melihatku sebagai wanita, bukan bagian kreatif yang membuat rencana-rencana program yang diinginkannya.
Pukul 7 pagi, dan kantor masih sepi.
Hanya ada Doo Ri onnie yang sibuk dengan kertas-kertas kerjanya hari ini. Sepertinya dia tidak pulang semalam. Setelah menyapanya sebentar, aku meletakkan tasku di atas meja ruanganku, dan menyembunyikan bunga origamiku di kolong meja.
“Noona, kau sudah datang?” Sapa Jin Wook yang juga baru datang, sambil menenteng sebuah tas besar.
“Pagi, Jin Wook.” Sepertinya aku mengenali tas itu.
Bukankah itu tas saxophon milik Shi Wan oppa?
“Jin Wook-ah, tas siapa yang kau bawa?” Tanyaku berlagak polos.
“Oh, Shi Wan hyeong. Dia terburu-buru harus ke ruangan master control, jadi menitipkannya padaku.”
Mendapat penjelasan yang cukup, aku pun mendapatkan ide brilian.
Hari ini, aku bisa dengan mudah memasukkan bunga origamiku ke dalam tas Shi Wan oppa di sini, tidak perlu repot mencarinya.
Aku menyunggingkan senyumanku. Otakku memang encer.

---

“Jadi, kau?” Sebuah suara berat mendapatiku sedang memegang bunga origami.
“O..o...oppa...” Aku terkejut bukan main.
Shi Wan oppa mendekat ke arahku, dan menggapai sebuah bunga origami yang coba cepat-cepat kusembunyikan di balik tubuhku, terlambat.
Tanpa senyum, dia mengangkat bunga origamiku dan memberi simbol ‘apa maksudnya, ini?’ dengan kedua mata dan alisnya.
“Ah, itu hanya...” Aku mulai kesulitan membuat kalimat.
Aku dan Shi Wan oppa berada di dalam satu ruangan, ruangan kerjaku. Rupanya dia sudah kembali dari ruang master control. Mati aku. Harus bagaimana ini?
“Bisa kau jelaskan?” Tanyanya dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. Dia terkejut, marah, atau...?
“Mianhae, Shi Wan oppa...” Ucapku mengatakan maaf kemudian berlari meninggalkannya. Seribu langkah cepat-cepat kuambil, tanpa memperhatikan mimik wajahnya lagi. Aku terlalu malu mengetahui kenyataan ini.
“Tunggu...” Ucapnya. Aku hanya mendengar kata itu.
Aku benar-benar tidak punya muka.
Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan jika aku bertemu dengannya lagi?

Setelah meninggalkan Shi Wan oppa, aku kini berada di tangga darurat, antara lantai tiga dan empat. Masih terengah, aku masih mencoba menenangkan diriku, mengatur napas.
“Yobuseyo...?” Kataku mengucapkan halo, mengangkat telepon selularku yang berdering kencang.
“Ji Wan noona, ada yang ingin bertemu denganmu.” Ah, ini Jin Wook. Mengagetkanku saja.
“Siapa?”
“Heum, aku tidak boleh menyebutkan namanya. Dia menunggumu di lobby kantor.” Jin Wook mulai main rahasia.
Apa aku punya penggemar rahasia di sini?
Ternyata bukan hanya aku yang menjadi penggemar rahasia seseorang, tetapi seseorang juga menjadi penggemar rahasiaku? Heuh... Perasaanku sedikit membaik mendengar seseorang menggemariku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menuruni satu per satu anak tangga darurat yang menghubungkan ke lantai dasar lobby kantorku.
Ada yang mencariku, yatta...

Sesampainya di lobby, mataku berpencar mencari siapa yang mencariku.
Ah, bodoh. Mengapa aku tidak ingat untuk bertanya pada Jin Wook, seperti apa orang yang mencariku itu.
Aku berjalan sedikit demi sedikit, melangkah perlahan. Siapa kiranya orang itu?
Tapi, apa aku tidak salah lihat? Aku melihat Shi Wan oppa sedang duduk di salah satu sofa di lobby. Sedang apa dia? Apa yang harus kulakukan?
Aku pun langsung mengeluarkan telepon selularku dan menghubungi Jin Wook. “Jin Wook, di mana orang yang mau bertemu denganku?”
“Dia menunggumu di lobby. Sudah dari tadi.”
Menungguku di lobby? Siapa lagi yang ada di lobby ini selain Shi Wan oppa?
Aku mendadak merasa ngeri. Perlahan aku mendekatinya, seolah tidak ada yang kupikirkan dan secara tidak sengaja bertemu dengannya.
“Ji Wan...”
“Ah, Shi Wan oppa.” Aku membungkukkan tubuhku, seolah semua terjadi secara kebetulan. “Ada apa?”
“Aku yang mencarimu.” Shi Wan oppa kemudian berdiri dari posisinya dan mendekat ke arahku. Jantungku berdegup kencang.
Mataku terbelalak kaget. “Ada apa?” Tanyaku mengulangi.
“Heum... Aku harus memulainya dari mana, ya?” Aku memperhatikan gerak-gerik Shi Wan oppa yang sedikit kikuk berada di depanku. “Jujur saja, aku terkejut karena ternyata sudah satu bulan ini ada seseorang yang selalu menaruh bunga origami ini di dalam atau luar tas saxophon-ku.” Shi Wan oppa menarik napasnya, kemudian melanjutkan. “Entahlah, aku senang atau tidak dengan bunga-bunga itu.”
“Lalu?”
“Bagaimana mengatakan ini? Aku bingung.” Perasaanku mengatakan bahwa Shi Wan oppa sedikit salah tingkah. “Bodoh.” Kata itu tiba-tiba terlontar dari bibirnya.
“Bodoh? Maksudmu?” Tanyaku berlagak polos.
Tubuh Shi Wan oppa kemudian perlahan mendekatiku. Lalu tangannya melayang di atas kepalaku, mengelusnya lembut.
“Oppa?”
Shi Wan oppa kemudian menyunggingkan senyumannya. Senyuman pertama yang pernah kulihat dari bibirnya selama aku mengenalnya. Senyuman ini, untukku?
“Gomawo.” Tangan Shi Wan oppa menggenggamku sambil terus tersenyum.
Aku pun membalas senyumannya dengan gembira.
Oppa, saranghae... Ucapku dalam hati.

---

Thursday, June 9, 2011

Aku dan Boneka Kesayanganmu

By: NTan SShee
(@nTansss)

Matahari sudah lama menyingkir dari tempatnya tenggelam, dan sudah menyinari tempat lain, tempat yang mulai bersinar lalu meredup lagi. Aku menghela napasku dalam. Merapikan rambutku yang mulai melusuh, lalu mulai mempersiapkan kepulanganku dari lokasiku bekerja pada sebuah perusahaan iklan di tengah kota Shibuya.
Lega rasanya hari ini kembali berakhir seperti biasanya.
Dengan membara, kakiku melangkah menyusuri pertokoan superramai yang berjejer. Orang-orang berhamburan dari sudut-sudut kota. Semuanya sibuk, tidak satu pun yang bisa bersantai di sini.
Ada yang sedang merapikan mannequine di depan etalase butik, membuat hiasan dinding dan kerlip lampu di toko perhiasan, ada juga yang menjajakkan makanan di restorannya pada masyarakat yang melewatinya. Semua sibuk.
Aku masih menyuri jalanan ramai ini.
Di perbatasan Shibuya, aku menempati sebuah flat berukuran sedang seorang diri. Dengan kereta ekspress dari stasiun di dekat perusahaanku, aku pun tiba di flat-ku. Cukup setengah jam saja dari sana.
“Hai, Pika...” Sapaku sesampainya membuka pintu flat berwarna abu-abu yang terbuat dari besi pada sebuah makhluk mati yang imut kesayanganku. “Apa kau kesepian hari ini? Maaf, pekerjaanku sangat padat, jadi tidak bisa pulang cepat.” Makhluk mati itu kemudian kuturunkan dari tempatnya terpajang di atas meja kecil dekat pintu.

---

“Mitsubota Jin! Berhenti di sana!” Teriak suara seorang wanita padaku dari kejauhan di balik tubuhku yang hendak meninggalkan area kampus.
Dengan terpaku karena lengkingan suaranya, aku menghentikan langkahku, dan perlahan membalikkan tubuhku. “Rei...?” Aku tergagap.
“Jin...” Wanita itu berlari kencang ke arahku, dan seketika menjemput tubuhku ke dalam pelukannya. “Aku merindukanmu, sangat...” Ucapnya lembut. Aku merasakan senyuman di bibirnya melebar di atas bahuku.
Ah... Pelukan ini, sepertinya sudah lama sekali aku merindukannya. Hangat, bersahabat, dan yang pasti aku menyukainya. Pelukan yang sudah lama kunanti...
“Hei, apa kau tidak merindukanku? Mengapa tidak membalas pelukanku?” Aku mengikuti ucapannya untuk kembali memeluknya. “Mengapa tidak menjawab? Perpisahan ini membuatmu bisu? Jin...” Protesnya bertanya panjang lebar.
Aku hanya tidak bisa menjawab, aku hanya terkejut, dan aku hanya ingin memeluk tubuh ini, bukan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir merah muda Rei.
Rei melepaskan pelukannya, lalu memandangi wajahku hangat.
“Ponimu masih seperti ini,” Ucapnya sambil menyentuh lembut poniku. “hidungmu masih sama seperti dulu, matamu juga masih sesipit mataku, bibirmu masih merah. Jauh lebih merah dari milikku.” Rei terus berceloteh sembari menyentuh hidung, mata, dan bibirku saat bicara.”Ah, aku benar-benar merindukan lelaki ini...” Ujarnya sambil tersenyum. Terlihat jelas guratan keriangan dan kegembiraan di wajahnya.
“Rei...?” Ucapku masih terbata.
Rei kembali tersenyum. “Kau tidak gembira aku kembali, Jin?”
“Bu, bukan begitu. Tidak seperti itu. Aku, aku hanya terkejut.”
“Bagaimana bisa kau hanya menggumamkan namaku saja dari tadi?” Lagi-lagi Rei protes, lalu tersenyum dan kembali memelukku. “Pelukan ini, sangat hangat. Bagaimana bisa aku meninggalkan pelukan ini berbulan-bulan, ya?” Ucapnya pelan. Tapi aku masih bisa mendengar suaranya.
Lima menit kemudian setelah Rei benar-benar menumpahkan kerinduannya padaku, kami memutuskan untuk melanjutkan pertemuan kami di cafetaria Universitas Kobe.
“Kapan kau kembali?” Tanyaku singkat setelah kami menemukan sudut cafetaria favorit kami, yang biasa kami datangi saat Rei belum pergi meninggalkanku.
“Satu jam yang lalu. Dan aku langsung mencarimu ke sini.” Ucap Rei, matanya masih saja belum beranjak memperhatikanku.
“Bagaimana kabarmu?” Ah, pertanyaan yang garing.
“Bagaimana kabarku? Seperti yang kau lihat, aku baik. Aku lihat, kau yang berubah aneh. Apakah menyakitkan berpisah denganku, Jin?” Tanyanya usil.
“Ya, sangat. Kau gembira, meninggalkanku?” Giliran aku yang protes.
Rei tersenyum, dan pindah dari posisi duduknya di hadapanku menjadi di sampingku. “Aku sama sekali tidak gembira meninggalkanmu, Jin.” Rei kemudian menjatuhkan kepalanya ke bahuku. “Ini juga menyakitkan untukku. Maaf, Jin.”
“Sudahlah, yang penting kau sudah kembali.” Aku menarik napasku lega, sambil mengelus lembut rambut panjang berikalnya.
Rei terlihat lebih kurus, daripada empat bulan yang lalu saat dia meninggalkanku menuju China. Entahlah untuk apa dia ke sana.
Kami berpisah empat bulan yang lalu di apartemenku. Awalnya Rei hanya mengatakan dia ingin ke China untuk berlibur. Tapi setelah itu, setelah hari keberangkatannya, Rei mengganti nomor ponselnya, tidak mengirim e-mail atau surat, dan aku tidak tahu dia berada di China bagian mana. Kami kehilangan kontak. Dia sama sekali tidak pernah memberiku kabar atau hal-hal semacamnya.
Aku sempat berpikir dia mati, tapi kemudian dia muncul di hadapanku hari ini. Rei belum mati, dia masih hidup. Syukurlah.
Saat ini Rei bercerita mengenai liburannya di China selama empat bulan yang lalu. Wajahnya diliputi kegembiraan, tergurat jelas di situ. Aku hanya meratapi ceritanya dengan senyuman, dan sesekali mengeluarkan kata-kata semacam “Wah, Oh, Heum” dan semacamnya. Aku cukup senang dengan kehadirannya saja, tanpa cerita-cerita yang dia katakan.
“Jin, apa kau lihat sesuatu yang beda dariku?” Tanyanya tiba-tiba, memotong ceritanya sendiri.
Aku mengangguk. “Sedikit. Kau, terlihat lebih kurus. Dan wajahmu, memerah. Apakah di sana sedang musim panas, sampai-sampai kau seperti ini, Rei?”
Rei menggeleng. Dia sudah kembali ke kursinya di hadapanku. “Tapi aku yakin, aku tetap cantik, bukan?”
Aku melebarkan senyumanku. “Kau yang tercantik. Wanita tercantik di muka bumi ini, Rei.”


“Apartemenmu masih tidak berubah. Fotoku, kau masih memajangnya di sini? Wah... Kau semakin rapi saja, deretan buku kesukaan kita masih kau simpan dengan baik. Dan ini, kupon-kupon taman bermain, kau juga masih merawatnya dengan baik?” Rei memeriksa satu per satu sisi apartemenku, beserta barang-barang di atasnya. Dia selalu sibuk mengomentari ini semua. Tidak pernah berubah.
Aku mengikuti Rei dari belakang, sambil tersenyum saat barang-barang itu diperhatikannya.
Rei kemudian menjatuhkan tubuh mungilnya di atas sofa merah di ruang keluarga.
“Sofa ini, aku juga merindukannya. Ah, semua hal tentangmu membuatku rindu, Jin.”
“Bagaimana dengan strawberry milkshake kesukaanmu, apa kau mau aku membuatkannya untukmu seperti biasa, Rei?”
Rei terbangun dari posisinya dan segera menolak. “Tidak, aku sudah menghentikan semua kebiasaanku mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat.”
“Maksudmu?”
Rei nampak berpikir mencari alasan. “Heum, aku hanya ingin sehat. Air putih, ya, cukup air putih saja yang tidak dingin.”
Rei seperti menyembunyikan sesuatu.
“Ini...” Rei kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik tas ranselnya yang dia jinjing dari tadi, memberikan makhluk mati imut padaku berwarna coklat.
“Kau tidak perlu memberiku oleh-oleh. Lagipula, aku tidak suka boneka. Kau tahu itu.”
“Namanya Pika. Bukan oleh-oleh. Tapi aku mau kau yang menjaganya.”
“Menjaga bonekamu?”
Rei mengangguk, aku tidak memahami jalan pikirannya saat ini. “Aku hanya percaya padamu. Aku sangat menyayangi Pika, dan aku mau kau yang menjaganya, Jin.”
“Kenapa bukan kau saja, kalau kau menyayanginya?” Tanyaku polos.
“Aku takut aku tidak bisa menjaganya. Jadi aku mau kau yang menggantikanku menyayanginya.” Mata Rei kini mendadak kosong, menatap langit-langit apartemenku yang kutempeli stiker awan.
Aku yakin, Rei menyembunyikan sesuatu.
“Ada apa denganmu?” Selorohku.
Rei menghela napas panjang, dan memandangi mata sipitku dalam. “Kau harus membersihkan tubuh Pika setiap hari, mengganti pakaiannya kalau kotor, menceritakan segala apa yang terjadi padamu, menyelimutinya kala tidur, dan jangan meninggalkannya kalau kau tidak kembali ke apartemenmu atau menginap di tempat lain.”
“Kau bicara apa, Rei? Apa kau mau pergi? Ada apa sebenarnya?” Pertanyaan ini dan penjelasan Rei barusan membuatku takut.
Rei menundukkan kepalanya lesu. “Aku mau kau menjaganya, seperti aku menjaga Pika.” Rei mulai mengelus kepala Pika dengan penuh kasih. “Pika, kalau bukan denganku, kau harus baik-baik dengannya. Namanya Jin. Dia sangat baik, tidak akan menelantarkanmu.”
“Rei, ada apa ini?” Aku terus saja bertanya.

---

“Pika, apa kau merindukannya?” Tanyaku pada makhluk mati itu, boneka kesayangannya.
Aku tahu, Pika tidak akan menjawab. Apalagi memberi masukan padaku agar aku tidak terus-menerus hidup dalam kesedihan seperti ini.
Setelah kepergian Rei satu tahun yang lalu karena leukimia yang menggerogoti hidupnya, aku hanya memiliki Pika sebagai penggantinya. Jika kupikirkan kejadian itu lagi, pantas saja Rei meninggalkanku begitu saja selama empat bulan. Memang, dia mengatakan kalau dia ke China untuk liburan. Ternyata dia berbohong, dia ke China untuk berobat, mengobati leukimia-nya secara tradisional. Namun terlambat, satu bulan kemudian Rei pergi, dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk melakukan chemotherapy.
Rei-ku yang malang...
“Pika, aku merindukannya. Sangat merindukannya. Aku janji, akan selalu menjagamu. Tenang saja.” Ucapku pada Pika. “Rei, maaf belum sempat mengatakannya sewaktu kau masih hidup. Tapi kau pasti tahu itu.” Air mataku perlahan meluncur dan membasahi pipiku. “Aku mencintaimu, Matsumoto Rei.”

---

Wednesday, June 8, 2011

The Long Way (to be) With You

By: NTan SShee
(@nTansss)

Hai, cinta sejatiku.
Di manakah dirimu kini?
Taukah kau, bahwa aku terus saja menunggumu?
Mencarimu yang entah di mana itu, mencarimu yang entah kapan datangnya.
Hai, cinta sejatiku.
Maybe it will be the long way to be with you.
Someday.

Aku masih termenung di dalam kereta super-ekspress yang melaju superkencang di kawasan sentral daerah Seoul. Aku masih merasa kelelahan, seolah tenagaku habis namun tak kunjung tergantikan.
Aku melihat sekeliling, hanya ada deretan dinding berwarna putih yang tampak. Maklum saja, kereta ini memang berada di dalam tanah. Satu per satu penumpang di dalam kereta kuperhatikan.
Seorang dengan jaket tebal berwarna abu-abu dan berkulit putih pucat. Mungkin perempuan muda ini ingin menemui kekasihnya. Ada pula seorang laki-laki separuh baya dengan mata yang mulai berkerut. Sepertinya terlalu berat kerjanya semalam. Dan seorang nenek dengan sweater berbulu domba cantik berwarna merah. Wajahnya amat cerah dan seolah tidak memikirkan usia senjanya yang mungkin saja sudah akan berakhir.
Ahhh... Mata ini kembali memperhatikan semua orang.
Aku tahu memang ini tidak baik. Tapi siapa tahu, di antara kerumunan itu, ada dia. Dia yang selama ini kucari di dalam mimpiku.
Entah seperti apa rupanya, perawakannya, atau bahkan tinggi badannya. Aku tidak mengetahuinya. Aku hanya hapal suaranya. Yang melengking tinggi dengan oktaf tertinggi yang bisa dicapai seorang laki-laki. Aku hanya mengetahui hal itu.
Kini dengan gontai kupaksa kakiku berjalan keluar stasiun.
Matahari siang terlalu menyengat, membuatku menutup sebagian mataku dengan tangan.
“Ana-ssi...” Lirih sebuah suara menggumamkan namaku. Nona Ana.
Suara yang mungkin saja kukenali.
Seketika aku menoleh, mencoba melihat sekelilingku. Mencoba menangkap gelombang suara yang baru saja membisikkan namaku.
Nihil.
Aku tidak menemukan apa-apa di tempatku sekarang berdiri. Di sebuah taman di pusat kota Seoul yang ramai.

---

“Ana-ssi...”
Lagi-lagi aku mendengar suara itu, kala aku mulai mencoba memejamkan mataku di dalam sebuah perpustakaan yang akhir-akhir ini sering kudatangi.
Ah, mungkin memang tidak ada apa-apa.
Aku pun memutuskan untuk benar-benar melelapkan diriku di atas salah satu meja superpanjang di dalam perpustakaan. Meja yang terbuat dari kayu pipih yang sangat bersih. Satu hal yang kusukai dari perpustakaan ini; sepi. Jadi aku bebas datang kapan saja untuk menghabiskan waktuku di sini. Meskipun aku jarang membaca satu buku pun di antara ribuan jenis dan judul buku yang tersedia.

---

Nampak sebuah dunia baru terhampar luas di hadapanku kini.
Hanya ada sebuah kaktus besar dengan duri yang juga besar, dan terasa ingin menusuk manusia yang berlalu di sampingnya. Kaktus itu berwarna hijau pekat, bukan hijau layaknya kaktus seperti kebanyakan. Kaktus yang kokoh dan berdiri menjulang menusuk langit.
Aku berjalan tertatih. Napasku terengah.
Pasir-pasir berwarna broken white ini seakan membuat langkahku semakin berat. Kaki ini terasa sangat enggan kuangkat. Kaki ini terasa sangat lelah untuk kembali melangkah.
Namun aku tetap mencoba dan mengangkat tinggi-tinggi kaki ini.
Entah apa yang kupikirkan sekarang. Entah apa yang sedang kucari. Tapi mata ini seolah menjelajahi tiap sudut padang pasir tandus ini mencari sesuatu.
Kakiku masih sulit melangkah, tapi setidaknya lebih baik. Karena sedikit demi sedikit aku mampu berjalan.
Satu kilometer sudah aku berjalan.
Kini aku berada di atas sebuah puncak pasir yang kokoh, memandang sekeliling. Tidak ada satu orang manusia pun di sana. Hanya ada aku. Melihat suasana ini, apakah aku boleh berpikir kalau ini adalah surga? Atau mungkin neraka?
Ah, tidak mungkin.
Aku belum merasakan ajal, apalagi mati sebelumnya. Tepatnya aku memang tidak mengingatnya. Tapi mungkin saja ini adalah surga. Tapi surga mana yang hanya ada pasirnya? Dan tidak ada manusia lain di tempat yang kuanggap surga ini?
Kelelahan semakin terasa, dan aku merasa sangat haus sekarang.
“Ana-ssi...”
Sebuah suara yang kukenal tiba-tiba memekik dari kejauhan.
Suara yang memang kutunggu-tunggu. Suara yang memang selalu ingin kuketahui siapa pemiliknya. Dan suara yang memang aku sangat ingin berjumpa dengannya. Suara itu... Suara yang selalu ada jauh di dalam ingatanku. Ingatanku, yang entah ada di mana.
Aku membalikkan kepalaku ke belakang, mencari asal suara yang memanggil namaku. Mataku pun menangkap sebuah cahaya putih kemilauan yang berjalan semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat padaku. Sebuah cahaya yang berubah menjadi sesosok laki-laki dengan balutan pakaian yang berwarna putih juga. Warna yang sama seperti yang kukenakan sekarang. Laki-laki itu...
Aku memandangi wajah laki-laki itu.
Masih tidak jelas.
Aku kembali menekan pandanganku untuk menangkap raut wajahnya lebih jelas.
Masih juga tidak jelas.
Namun satu hal, aku melihatnya tersenyum ke arahku. Aku melihatnya gembira, karena seolah telah bertemu denganku.
Tapi aku masih di posisi yang sama, aku terpaku tanpa bisa tahu siapa dia sebenarnya. Aku masih terpaku tanpa mengerti kejadian yang sesungguhnya.
“Ana-ssi”
Laki-laki itu membuka mulutnya, dan menyerukan namaku seketika. Aku yakin, dia pasti orang yang sama dengan laki-laki yang selalu memanggil namaku sebelum-sebelumnya. Di alam mimpi. Maupun di dunia nyata.

---

Sekembalinya dari perpustakaan, aku memutuskan untuk mengunjungi salah satu cafe di kawasan Apgujeong-dong. Sekedar meminum beberapa gelas soju (minuman khas Korea). Otakku terlalu penat akibat mimpi tadi.
Aku suka cafe ini. Tidak terlalu ramai, meski berada di salah satu distrik paling ramai yang ada di Seoul. Aku paling suka musik yang disuguhkan di sini, jazz. Aku tahu, tidak semua orang menyukai musik ini, tapi aku menikmatinya.
Mataku kemudian beranjak pada sebuah kursi kosong di hadapanku yang kemudian diisi oleh sebuah tubuh tidak terlalu kekar, memesan soju yang sama denganku.
“Aku minta soju, 2 botol.” Begitu ucapnya.
Setelah mendapatkan pesanannya –yang tanpa sadar mataku terus memperhatikannya– lelaki itu dengan sigap menenggak soju langsung dari botolnya, tanpa dituang terlebih dahulu ke dalam gelas.
Apa lelaki ini sedang penat?
Ah, sepertinya dia setengah mabuk sekarang.
Lelaki itu kemudian mendatangi panggung yang ada di balik bar, dan membisikkan sebuah kalimat pada seorang pemain band di sana. Sepertinya dia meminta untuk diiringi sebuah musik.
Benar saja, sebuah lagu jazz lama terlantun. Aku tidak begitu hapal siapa penyanyinya, tapi lagu ini sangat terkenal waktu itu.
Lelaki itu membuka mulutnya, dan mulai menyumbang suaranya.
Sangat merdu, suaranya melengking tinggi.
Ya Tuhan, suara ini.
Tiba-tiba aku terhenyak, kala kuresapi suaranya dalam. Suara ini, seperti suaranya. Suara laki-laki yang ada dalam mimpiku itu, suara laki-laki yang selalu kucari. Ya Tuhan...
Bait demi bait terlantun kembali, aku semakin yakin.
Riuh pengunjung cafe yang hanya ada beberapa terdengar di telinga, dan aku tersadar kala lelaki itu sudah ada di hadapanku.
“Kau suka lagunya, Nona?” Tanyanya tiba-tiba.
Aku mengerjapkan mataku, sekali, dua kali. Kemudian menelan ludahku perlahan. “A... Apa?”
“Lagu ini, kau menyukainya?” Tanyanya mengulangi.
Aku mengangguk ragu. “Ya, dan suaramu bagus.”
Lelaki itu tersenyum. Pipinya sudah merona merah, hidungnya juga ikut memerah. Dia setengah mabuk.
Tanpa kuduga, lelaki itu duduk tepat di hadapanku, di sebuah kursi kosong. Dia mulai menatapku aneh.
“Tuan, ada apa denganmu?”
Lelaki itu kembali tersenyum dan menggeleng perlahan.
“Sepertinya aku pernah melihatmu, di mana, ya?” Tanyanya dengan suara pelan. “Apa karena aku sudah agak mabuk, aku jadi berhalusinasi seperti ini, ya?”
Aku semakin bingung.
“Nona, apa kau pernah bersekolah di Jepang?”
Aku menggeleng.
“Kau kuliah di Sejong University?”
Aku lagi-lagi menggeleng.
“Atau kau tetanggaku di apartemen Gangnam?”
Aku masih terus menggeleng. Orang ini benar-benar aneh.
“Aku yakin pernah melihatmu.”
Ya Tuhan, begitu pula aku.
Sedekat ini berbicara dengannya, mendengarkan suaranya, dan melihat dalam matanya meskipun dia setengah mabuk, rasanya aku pun mengenalnya.
“Permisi, Tuan.” Panggilku sopan. “Kau, pernah berada di padang pasir dengan mengenakan setelan putih?” Tanyaku agak melantur.
Sumpah, ini pertama kalinya aku berkata di luar nalarku. Aku hanya penasaran, dan tidak bisa menahan pertanyaan yang selalu kutitipkan pada diriku sendiri mengenai laki-laki dalam mimpiku itu.
“Padang pasir? Hei... Ini Korea, padang pasir itu ada di Timur Tengah, Nona.” Selorohnya padaku. “Tapi tunggu...”
Lelaki ini nampak sedikit berpikir.
“Mungkin pernah. Saat itu aku bersama seorang wanita. Entahlah... Aku tidak begitu mengingatnya.” Lelaki itu kemudian menenggak soju-ku yang ada dalam genggamanku dan menghabiskan satu botol penuh milikku. Sedangkan miliknya, tertinggal begitu saja di atas mejanya di depan mejaku.
“Wanita? Bisakah lebih jelas kauberitahu aku?”
Aku merasa permintaanku aneh.
Dia menatapku gusar, dan kemudian kepalanya terkulai lemas di atas mejaku.
“Tuan, Tuan...” Panggilku sembari mencoleki lengan atas kanannya. Laki-laki ini benar-benar mabuk sekarang.
Oh tidak, pertanyaanku belum terjawab dan dia sudah mabuk?
“Ana-ssi... Ana-ssi...” Gumam lelaki itu pelan.
Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya. Namun kudekatkan telingaku pada tubuhnya.
“Ana-ssi...”
Aku menarik tubuhku. Mataku terbelalak.
“A...Ana-ssi? Itu, bukankah itu namaku?” Aku pun bergumam pada diriku sendiri. “Tuan, apa tidak salah memanggil nama orang? Tuan...” Aku menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu sedikit keras agar dia mau terbangun.
Ya Tuhan, benarkah lelaki ini yang selalu hadir dalam mimpiku?
“Hei... Jawab aku, kau... Apa kau tidak salah memanggil namaku? Hei...”
“Ana-ssi...”

---

Tuesday, April 5, 2011

Lihatlah Aku, Sekali Saja


By: NTan SShee

(@nTansss)

Sudah pagi, saatnya sarapan.

Seperti biasa, aku sudah duduk dengan rapi sesuai kebiasaanku di coffee cafe ini. Kebiasaan yang selalu kuulangi setiap hari dan sudah hampir sepuluh tahun. Betul, aku sudah sepuluh tahun menjadi pelanggan tetap cafe ini setiap paginya.

Sebenarnya dulu, aku sangat membenci kopi. Mencium wanginya pun aku enggan. Namun semua ketidaksukaanku bisa kuubah seketika, saat aku bertemu dengannya. Semua kebencianku pada kopi dan hal-hal lain bisa kutekan menjadi rasa suka. Mungkin seolah tidak menjadi diriku memang, tapi aku menyukainya. Aku menyukai setiap hal saat aku berubah demi dirinya. Dia yang kucintai, namun tak mencintaiku.

Setelah pesanan kopiku datang, sebentar aku menciumi wanginya yang semakin kusuka belakangan ini, wangi kopi yang sepertinya mampu menggugah perasaanku menjadi lebih baik. Menyesap kopi ini perlahan, dan berharap sebuah bintang jatuh di atas kepalaku.

Wangi sekali...

Satu teguk, dua teguk.

Aku memperhatikan sinar mentari yang menyapa masuk dari celah gedung-gedung bertingkat di dekat coffee cafe di distrik Itaewon. Sangat ramai, tapi itulah kelebihan distrik ini. Di sinilah, pertama kali aku berjumpa dengannya, tepat sepuluh tahun yang lalu.

Saat itu, jika aku mengingatnya...

Dia berjalan santai dengan jaket hitam berkapucong hitam-marun. Sangat serasi dengan pilihan sepatu snickers-nya yang senada, dan topi kupluk hitam menempel di kepala. Kacamata ber-frame hitam tanpa kaca, serta hoody pants yang membuatku secara tidak sadar membuka mulutku setengah lebar.

Orang itu, lelaki itu, berjalan menapaki satu per satu paving block di trotoar distrik, saat aku sedang melihat-lihat jalanan ramai di sisi toko pakaian.

Jantungku berdegup. Seolah ingin pergi begitu saja dari tempatnya, dan memberontak untuk bisa bebas.

Ini bukan cinta pada pandangan pertama, bukan.

Ini rasa kagum pada pandangan pertama.

Lelaki itu makin mempercepat langkahnya, dan satu hal yang membuatku memperhatikannya dalam, dia memiliki wajah seperti pretty boy, namun gitar elektrik yang dijinjingnya di balik tubuhnya membuatnya nampak begitu gahar, begitu lelaki. Tidak cocok dengan tampangnya yang terlalu manis –atau apa pun namanya si pretty boy itu–, tapi aku menyukainya. Sangat.

Aku baru mengetahui namanya satu tahun setelah sering memperhatikannya dari kejauhan, Josh. Nama asing bagi orang Korea Selatan yang bermata sama sekali tidak bulat penuh. Josh sering melintasi daerah ini. Maklum saja, studio musiknya berada tepat beberapa blok dari coffee cafe, dan dia sudah pasti selalu lewat sini untuk latihan. Josh baru merintis kariernya sebagai artis, saat itu. Lima tahun sejak aku memperhatikannya saja, Josh masih sering latihan dan mulai mengeluarkan album indie. Aliran musiknya sangat konservatif, tidak sesuai dengan wajahnya. Padahal setahuku, Josh sudah sering ditawarkan menyanyi oleh agensi-agensi besar di sini. Tapi Josh hanya ingin menyanyikan genre musik yang disukainya, bukan pop.

Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit untuk mengagumi seseorang memang. Dan aku bukan sama sekali tidak pernah mencoba untuk berkenalan dengannya atau sekadar mengobrol santai. Josh bukan orang yang terbuka dengan sesuatu yang baru. Bahkan ketika aku mengenal hampir semua teman band-nya, hanya Josh yang selalu gagal untuk kutemui. Orang yang sangat aneh memang. Tapi dia unik. Dan sekali lagi, aku menyukainya.

Sekarang usiaku sudah 26 tahun, itu artinya sejak SMA aku sudah memperhatikannya. Selama itu juga, aku tidak pernah melihatnya berjalan dengan seorang perempuan. Aku sempat berpikir bahwa dia adalah gay. Untung saja aku mendapatkan info tentangnya yang sangat akurat, bahwa dia ‘normal’.

Ah, itu dia. Josh sudah hampir melewati coffee cafe ini.

Loh?

Selangkah demi selangkah namun pasti, Josh menjajakkan kakinya ke dalam coffee cafe, dan mulai memesan kopi kesukaannya (yang sekarang juga jadi kesukaanku).

Tidak biasanya aku bertemu dengannya di tempat ini. Ini kali kedua selama sepuluh tahun. Dan dalam dua waktu itu, aku hanya mampu memperhatikannya penuh sambil duduk dari kejauhan.

Saat pikiranku benar-benar terbenam dalam wajahnya, Josh menoleh dan menangkapku.

Aku kikuk.

Dan berusaha mengalihkan pandanganku ke luar, namun sayang. Mata Josh keburu mencurigaiku. Oh tidak...

Aku kemudian berdiri, dan menghapiri tempat Josh berada. Josh memperhatikanku bingung.

“Tae Hwan, boleh aku minta satu gelas kopi yang sama lagi?” Ucapku pada bartender di situ, sambil berpura-pura tidak memperhatikan Josh lagi dan kembali ke tempat dudukku setelah Tae Hwan mengiyakan order-ku.

Ah, untung saja kali ini aku masih bisa mengelak.

---

Terkadang aku memang sempat berpikir, mungkin akan lebih baik jika benar-benar bisa mengenalnya lebih dekat. Namun jika dia yang sulit kutemui?

Pernah suatu kali aku berniat menunggunya dan seolah salah mengenali gedung di dekat studio musiknya, tempat dia biasa berlatih band. Namun usahaku selalu gagal. Dia tidak pernah melihatku. Maka dari itu, aku berani menyimpulkan bahwa dengan melihatnya saja setiap hari, itu sudah cukup. Melihatnya tersenyum sedikit pada orang-orang di sekitarnya pun cukup. Atau memperhatikan dia dari kejauhan, bisa lebih dari cukup.

Tentu aku bukan seorang penguntit. Aku hanya menganggapnya vitaminku. Vitamin dari rasa sukaku, dan semenit pun aku tidak pernah memikirkan orang lain selain dirinya. Aku menyukainya, meski hal ini menyakitkan.

Menurut Min, aku sakit jiwa. Mungkin.

Aku punya banyak koleksi fotonya yang kukumpulkan diam-diam dan kulem di tiap sisi kamar tidurku. Sekali lagi, aku bukan penguntit. Aku hanya memotret dirinya dalam tiap pose saat aku bertemu dengannya, bukan sengaja menemuinya.

Aku pengagumnya. Mungkin itu kata yang tepat.

Sepanjang waktu aku bisa menyunting tiap gambar yang kudapatkan, menyatukannya iseng dengan beberapa koleksi gambar diriku sendiri. Seolah aku dan dia berfoto bersama. Kuulangi, aku hanya iseng.

Pernah suatu waktu Tae Hwan, si bartender coffee cafe, mendapatiku tengah menyiapkan kamera genggamku ke arah luar, tepat di mana Josh sedang bercakap-cakap dengan anggota band-nya yang lain di dekat cafe. Aku memang kaget. Tapi dengan alasan portofolio kampus, Tae Hwan mengamini alasanku. Syukurlah.

Sebenarnya Tae Hwan pernah ingin membantuku berkenalan dengan Josh. Tapi aku menolak. Aku hanya ingin Josh mengetahui diriku karena aku yang ingin dia tahu, dan karena usahaku sendiri. Bukan orang lain. Josh...

Kini aku sedang berdiri sendirian di depan trotoar, menanti lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Tidak ada pejalan kaki lain di sekitarku, hanya aku.

Mataku berkeliling ke sekitar gedung-gedung yang menjulang tinggi ke langit, sambil memainkan kakiku dan menggoyang-goyangkannya. Gedung-gedung ini kelihatannya semakin bertambah jumlahnya dari hari ke hari. Karena aku merasa Seoul menjadi kota yang sangat padat belakangan ini.

“Permisi.” Seru sebuah suara padaku.

“Ya.” Jawabku singkat, sambil sedikit menggeser tubuhku agar orang itu bisa berdiri di sisi jalan yang sama.

Aku masih belum menyadarinya, mataku masih memandangi deretan toko yang berjejalan.

Namun sebuah suara yang kukenal sedang menelepon, akhirnya menyadarkanku. Suara yang tidak asing.

Noona, ya aku memang hampir sampai. Tidak, tidak. Jangan tunggu aku. Kalian duluan saja. Bukan, bukan begitu maksudku...” Suara lelaki itu nampak panik terburu-buru.

Aku menatapnya dalam. Suara itu milik Josh.

Dan kali ini aku berdiri tepat di samping Josh, Josh yang sedang menelepon.

Aku tersenyum riang. Kini takdir menjodohkan kami di trotoar sepi ini sambil menanti lampu berubah hijau.

Kalau sekarang aku mulai berdoa dan berharap satu waktu di mana dia benar-benar melihatku, apakah boleh?

Mungkin iya.

Aku pun memejamkan mata, dan mulai membuka terowongan pembicaraan hatiku dengan Tuhan.

Tuhan, kini aku benar-benar berharap dan memohon. Setelah hari ini, terserah apa yang akan terjadi. Tapi untuk hari ini, aku ingin dia melihatku, aku ingin dia mengenaliku, aku ingin dia. Hanya dia, Tuhan.

Kemudian aku membuka mataku.

Lampu pejalan kaki sudah berubah hijau, dan tidak lagi kutemukan Josh di sampingku. Josh sudah berlalu, aku kehilangan jejaknya.

Mumpung lampu masih hijau, aku harus mengejar cinta sepuluh tahunku itu. Mumpung lampu masih hijau, aku harus mengubah pola pikirku sebelumnya untuk bisa mengenalinya. Dan tidak menyia-nyiakan cita ini. Mumpung lampu masih hijau, aku akan mencarinya. Mumpung lampu masih hijau, aku akan...

TTTTTTTTTTTIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNNNNNNN.......

---

Aku mengerjapkan mataku.

Syukurlah, aku masih hidup.

“Nona... Nona...” Panggil sebuah suara lembut.

Sedikit bayangan lelaki pemilik suara yang sepertinya tengah berusaha menyadarkan rohku kembali ke raganya sembari menyanggaku di atas pahanya yang empuk. Ringan sekali, nyaman sekali rasanya.

Aku kembali mengerjapkan mataku.

“Josh...???” Ucapku terperangah lemah.

“Nona... Kau sadar?”

Itu Josh, dan dia berada di hadapanku.

Tuhan, terima kasih telah mengabulkan doaku. Doa pertama, dan doa terakhirku tentang dia.

Semenit kemudian, aku merasakan ragaku semakin ringan, dan rohku yang keluar dari raganya sambil tersenyum renyah ke arah lelaki pretty boy itu.

Terima kasih karena pernah menolongku, dan melihatku. Josh...

---

Sunday, March 27, 2011

REMEMBER, ME


By: NTan SShee

(@nTansss)

Namaku Leslie, dan aku sekarang sudah berusia 25 tahun.

Setidaknya hanya itu yang bisa kuingat dari seluruh kehidupanku. Sisanya, entahlah. Aku sama sekali tidak bisa mengingat siapa diriku (selain namaku tentunya), di mana keluargaku, dan bagaimana kehidupanku sebelumnya. Hanya dua hal tadi yang masih bersisa dari ingatan di otakku.

Kata dokter, aku mengidap amnesia ringan. Dan mungkin saja seluruh ingatanku akan seketika kembali. Namun ini sudah tahun ketigaku, dan aku belum bisa mengingat lebih. Sebetulnya aku sangat penasaran, seperti apa aku di kehidupan sebelumnya. Tapi dokter di tempat ini selalu mengatakan aku tidak boleh terlalu memaksa kondisiku, karena bisa saja aku semakin sakit dan tidak bisa mengingat apa-apa, selamanya. Kata dokter memang ada benarnya, terkadang kepalaku terlalu sakit saat aku mulai nakal dan mencoba mengingat (lebih tepatnya memaksa mengingat-ingat) mengenai asal-usulku. Dan setiap itu terjadi, aku hanya bisa pasrah berada di ruang perawatan, dengan satu buah infus yang menjuntai di tangan kananku, dan sebuah cairan penenang yang dimasukkan melalui lubang jarum suntik.

Aku pun terkadang merasa aneh dengan nama yang kuingat: Leslie. Nama itu terdengar seperti nama orang-orang barat. Padahal jika aku berkaca, wajahku sama sekali tidak nampak kebarat-baratan. Mataku bulat utuh, dengan lipatan mata yang tidak terlalu besar. Hidungku memang sedikit mancung dan perawakanku yang tinggi. Namun dengan rupa seperti ini, aku meyakinkan diriku bahwa aku adalah orang Asia. Tapi entahlah, mengapa aku mengingat bahwa namaku adalah Leslie? Mungkinkah aku orang keturunan?

---

Sudah satu bulan, sejak musibah tsunami menggempur daratan perfektur Miyagi ini, aku tidak pernah meninggalkan lokasi ini. Dengan seragam yang sama, dan dengan aktivitas yang sama.pula, masih membantu masyarakat yang terkena bencana dengan aksi sosialku. Bersama dokter-dokter yang sudah kuanggap keluarga, dan beberapa anggota tim relawan lain yang menjadi anggota inti regu penolong ini. Ada sepuluh orang, dan aku salah satunya.

Aku sangat menyukai dunia ini, dunia sosial dan menjadi relawan. Kadang aku berpikir, mingkin sebelumnya aku juga adalah seorang relawan sosial yang suka membantu orang lain yang tertimpa bencana, atau mungkin seorang dokter yang kemudian terkena amnesia.

Sudah pukul 10 malam.

Semua korban selamat sudah terlelap di dalam tenda berwara putih yang disiapkan tim relawanku dan tim relawan negara lain yang bekerja sama. Aku dan tim relawanku juga berasal dari Jepang, dan dalam ingatanku sekarang, aku memang tinggal di Jepang selama tiga tahun ini. Beberapa anggota timku memang orang Amerika, tapi sebagian besarnya adalah warga negara Jepang. Jadi kemungkinan aku adalah orang Jepang juga sangat besar.

“Leslie, mengapa belum tidur?” Ucap ketua tim relawanku, Kak Fukutaro.

Aku tersenyum dan membalas, “Aku masih mau melihat bintang.”

Aku hanya mencari alasan.

“Baiklah. Jika sudah mengantuk, kau langsung masuk, ya.” Perintahnya.

Aku mengangguk tanda setuju. Dan Kak Fukutaro pun masuk ke dalam tenda yang dibuat khusus untuk anggota tim relawan kami.

Aku kembali memfokuskan pandanganku pada perbukitan hijau ini.

Pemandangan malam di sini sebenarnya sangat bagus. Andai saja tsunami yang datang tidak dibarengi gempa. Bukit ini pasti tidak akan seberantakan ini.

Hhhhh... Aku menghela napasku dalam, dan mulai memperhatikan deretan bintang yang mampir ke atas langit di sekitar lokasi bencana ini.

Setidaknya masih ada hiburan malam di tengah peristiwa kelabu ini.

Sudah lima belas menit.

Dan aku masih memandangi dengan seksama bintang-bintang itu.

Uhuk-uhuk...

Suara seorang laki-laki yang terbatuk menyadarkanku, dan membuatku membelokkan mataku, mencari sosok yang rupanya sudah berdiri manis di belakangku.

“Hai...” Sapanya lembut.

Aku hanya tersenyum.

“Kau tidak ingat aku?” Tanyanya polos.

Aku hanya menggeleng.

“Benar tidak mengingatku?”

Aku kembali menggeleng.

“Bisa kau coba mengingatku?” Tanyanya percaya diri.

Aku semakin bingung dan tidak mengerti.

Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya, kecuali... Kecuali saat aku dan dia bertabrakan satu bulan yang lalu, tepat saat aku dan tim relawanku baru tiba di lokasi bencana ini.

“Kau, orang yang menabrakku waktu itu.” Ucapku datar.

“Selain itu?”

“Selain itu aku tidak ingat.”

“Benarkah tidak ingat aku?” Tanyanya lebih lanjut, dan dia kemudian mendekatkan wajahnya ke depan wajahku. Seolah meyakinkan kalau dia adalah orang yang patut kuingat.

Aku menjauhkan wajahku dari wajahnya, dan sedikit memundurkan tubuhku.

Melihatku yang seperti menghindar, dia pun memundurkan dirinya sedikit.

Mengapa aku melihat raut kekecewaan yang terpampang jelas di matanya?

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu mengingatku.” Ucapnya sambil tersenyum kemudian melanjutkan, “Tapi jika kau sudah mengingatku, langsung hubungi aku. Dan aku jamin, aku akan langsung berlari menemuimu. Aku janji.”

Laki-laki ini terlalu menggebu.

“Baiklah.” Jawabku singkat. “Tapi namamu?”

Dia hanya tersenyum. “Biar kau ingat sendiri siapa namaku, Leslie.” Kali ini dia yang memberiku teka-teki. Dan dia mengetahui namaku. Dasar laki-laki aneh.

---

Masih pagi.

Sebagian besar pengungsi sudah mulai bisa menerima keadaan mereka. Terlebih lagi setelah pemerintah Jepang menyetujui proyek pembangunan kembali pemukiman mereka yang telah hancur. Setidaknya mereka sedikit lega. Aku pun juga merasa lega.

Dari kejauhan, aku secara tidak sengaja memandangi laki-laki semalam yang menghampiriku. Dia mengenakan pakaian yang hampir sama dengan pakaianku. Mungkin dia juga seorang relawan dari tim lain di sini. Atau mungkin juga seorang penyusup? Mungkin.

Senyumanku sedikit berkembang. Kala laki-laki itu mulai bertindak aneh. Ada saja benda yang mulai dijatuhkannya, atau bertabrakan dengan anggota relawan lain. Mungkin laki-laki ini punya hobi menabrak orang?

Sekelebat bayangan dirinya tiba-tiba melintas.

Dan saat itu aku merasakan pusing.

Ya Tuhan, tidak mungkin dia adalah laki-laki yang pernah ada dalam kehidupanku sebelumnya, bukan?!

Lima menit kemudian aku bisa mengendalikan rasa sakit ini. Tapi aku masih penasaran, siapa laki-laki itu sebenarnya. Tanpa pikir panjang, aku mulai mencoba mengingat. Meski tidak terlalu memaksa otakku untuk bekerja lebih keras.

Mataku mulai menerawang, pikiranku mulai berjalan ke sana ke mari. Mencari satu titik terang tentang masa laluku. Di mana mungkin saja ada ceritaku dan dia...

Otakku sedikit bekerja lebih baik saat ini. Dia mau menawarkan sedikit kemurahannya untuk menampakkan sepenggal kehidupan masa laluku. Ah, akhirnya.

Ingatanku kini bermuara pada sebuah pantai yang luas dan lengang. Tidak ada apapun yang terhampar di hadapannya. Aku hanya melihatku, melihat diriku yang menatap dalam deru ombak di tengah laut. Aku seolah menunggunya, menunggu sesuatu. Lalu kemudian sebuah kapal feri datang mendekat, dan semakin dekat ke arahku.

Tubuh itu sepertinya milik seorang laki-laki. Nampak kegagahan di situ. Dan benar saja, laki-laki itu memeluk tubuhku erat. Mungkin kami memang sudah lama tidak berjumpa karena kepergiannya.

Namun kemudian... Angin laut mendadak mengencang, dan berhembus berlebihan. Kapal feri yang sebelumnya dinaiki laki-laki itu sudah terbalik di tengah lautan lalu menghilang. Aku berpegang erat pada pinggangnya dan berusaha bersamanya keluar dari keadaan ini. Siapa tahu aku dan dia bisa mencari pertolongan.

Peganganku padanya semakin erat.

Tapi sepertinya nasib tidak ingin aku dan dia bersama.

Ternyata benar, angin yang berlalu begitu kencang memisahkan genggaman kami. Aku terlempar ke selatan, dan dia ke utara.

Ahhhh... Tidak, kepalaku mulai sakit lagi.

“Leslie... Leslie...” Seru sebuah suara, menyadarkanku ke dalam dunia nyata dan berhenti mengingat masa laluku.

Aku masih belum bisa berkonsentrasi untuk mendengarnya dengan jelas.

“Leslie...”

Tanpa kata, aku memeluk tubuh orang yang terus menyeru namaku. Dan aku menangis sejadi-jadinya di atas bahunya.

“Kau mencoba mengingatku, ya? Lalu, apa yang kaudapat?” Tanya si suara tadi.

“Ken...???”

“Ah, akhirnya kau mengingatku, Leslie!”

Apa, aku mengingatnya?

Aku bahkan tidak sadar nama apa yang baru saja terlontar dari bibirku. Dan dia bilang aku mengingatnya?

Aku menggeleng di dalam pelukannya. Sesaat kemudian mencoba melepaskan diriku sambil mengerjapkan mataku dan menatapnya bingung.

“Ken?”

“Ya?” Jawabnya singkat. “Terima kasih karena sudah mengingatku, Leslie.” Tatapannya sangat bersahabat, dan senyuman di bibirnya sangat nyaman kupandang.

“Kau Ken?”

Ken lagi-kagi tersenyum.

Aku Leslie, dan dia Ken. Hanya itu yang kutahu dan bisa kuingat sekarang.

“Tidak apa, aku akan menunggumu sampai kau ingat betul siapa aku. Aku tidak akan lupa janjiku. Sungguh.”

Aku merasa lega mendengar ucapannya. Dan aku pun bertekad untuk meneruskan usahaku sedikit demi sedikit untuk mengingat masa laluku. Semoga memang dia yang ada di masa laluku sebelumnya.

---