Sunday, March 27, 2011

REMEMBER, ME


By: NTan SShee

(@nTansss)

Namaku Leslie, dan aku sekarang sudah berusia 25 tahun.

Setidaknya hanya itu yang bisa kuingat dari seluruh kehidupanku. Sisanya, entahlah. Aku sama sekali tidak bisa mengingat siapa diriku (selain namaku tentunya), di mana keluargaku, dan bagaimana kehidupanku sebelumnya. Hanya dua hal tadi yang masih bersisa dari ingatan di otakku.

Kata dokter, aku mengidap amnesia ringan. Dan mungkin saja seluruh ingatanku akan seketika kembali. Namun ini sudah tahun ketigaku, dan aku belum bisa mengingat lebih. Sebetulnya aku sangat penasaran, seperti apa aku di kehidupan sebelumnya. Tapi dokter di tempat ini selalu mengatakan aku tidak boleh terlalu memaksa kondisiku, karena bisa saja aku semakin sakit dan tidak bisa mengingat apa-apa, selamanya. Kata dokter memang ada benarnya, terkadang kepalaku terlalu sakit saat aku mulai nakal dan mencoba mengingat (lebih tepatnya memaksa mengingat-ingat) mengenai asal-usulku. Dan setiap itu terjadi, aku hanya bisa pasrah berada di ruang perawatan, dengan satu buah infus yang menjuntai di tangan kananku, dan sebuah cairan penenang yang dimasukkan melalui lubang jarum suntik.

Aku pun terkadang merasa aneh dengan nama yang kuingat: Leslie. Nama itu terdengar seperti nama orang-orang barat. Padahal jika aku berkaca, wajahku sama sekali tidak nampak kebarat-baratan. Mataku bulat utuh, dengan lipatan mata yang tidak terlalu besar. Hidungku memang sedikit mancung dan perawakanku yang tinggi. Namun dengan rupa seperti ini, aku meyakinkan diriku bahwa aku adalah orang Asia. Tapi entahlah, mengapa aku mengingat bahwa namaku adalah Leslie? Mungkinkah aku orang keturunan?

---

Sudah satu bulan, sejak musibah tsunami menggempur daratan perfektur Miyagi ini, aku tidak pernah meninggalkan lokasi ini. Dengan seragam yang sama, dan dengan aktivitas yang sama.pula, masih membantu masyarakat yang terkena bencana dengan aksi sosialku. Bersama dokter-dokter yang sudah kuanggap keluarga, dan beberapa anggota tim relawan lain yang menjadi anggota inti regu penolong ini. Ada sepuluh orang, dan aku salah satunya.

Aku sangat menyukai dunia ini, dunia sosial dan menjadi relawan. Kadang aku berpikir, mingkin sebelumnya aku juga adalah seorang relawan sosial yang suka membantu orang lain yang tertimpa bencana, atau mungkin seorang dokter yang kemudian terkena amnesia.

Sudah pukul 10 malam.

Semua korban selamat sudah terlelap di dalam tenda berwara putih yang disiapkan tim relawanku dan tim relawan negara lain yang bekerja sama. Aku dan tim relawanku juga berasal dari Jepang, dan dalam ingatanku sekarang, aku memang tinggal di Jepang selama tiga tahun ini. Beberapa anggota timku memang orang Amerika, tapi sebagian besarnya adalah warga negara Jepang. Jadi kemungkinan aku adalah orang Jepang juga sangat besar.

“Leslie, mengapa belum tidur?” Ucap ketua tim relawanku, Kak Fukutaro.

Aku tersenyum dan membalas, “Aku masih mau melihat bintang.”

Aku hanya mencari alasan.

“Baiklah. Jika sudah mengantuk, kau langsung masuk, ya.” Perintahnya.

Aku mengangguk tanda setuju. Dan Kak Fukutaro pun masuk ke dalam tenda yang dibuat khusus untuk anggota tim relawan kami.

Aku kembali memfokuskan pandanganku pada perbukitan hijau ini.

Pemandangan malam di sini sebenarnya sangat bagus. Andai saja tsunami yang datang tidak dibarengi gempa. Bukit ini pasti tidak akan seberantakan ini.

Hhhhh... Aku menghela napasku dalam, dan mulai memperhatikan deretan bintang yang mampir ke atas langit di sekitar lokasi bencana ini.

Setidaknya masih ada hiburan malam di tengah peristiwa kelabu ini.

Sudah lima belas menit.

Dan aku masih memandangi dengan seksama bintang-bintang itu.

Uhuk-uhuk...

Suara seorang laki-laki yang terbatuk menyadarkanku, dan membuatku membelokkan mataku, mencari sosok yang rupanya sudah berdiri manis di belakangku.

“Hai...” Sapanya lembut.

Aku hanya tersenyum.

“Kau tidak ingat aku?” Tanyanya polos.

Aku hanya menggeleng.

“Benar tidak mengingatku?”

Aku kembali menggeleng.

“Bisa kau coba mengingatku?” Tanyanya percaya diri.

Aku semakin bingung dan tidak mengerti.

Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya, kecuali... Kecuali saat aku dan dia bertabrakan satu bulan yang lalu, tepat saat aku dan tim relawanku baru tiba di lokasi bencana ini.

“Kau, orang yang menabrakku waktu itu.” Ucapku datar.

“Selain itu?”

“Selain itu aku tidak ingat.”

“Benarkah tidak ingat aku?” Tanyanya lebih lanjut, dan dia kemudian mendekatkan wajahnya ke depan wajahku. Seolah meyakinkan kalau dia adalah orang yang patut kuingat.

Aku menjauhkan wajahku dari wajahnya, dan sedikit memundurkan tubuhku.

Melihatku yang seperti menghindar, dia pun memundurkan dirinya sedikit.

Mengapa aku melihat raut kekecewaan yang terpampang jelas di matanya?

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu mengingatku.” Ucapnya sambil tersenyum kemudian melanjutkan, “Tapi jika kau sudah mengingatku, langsung hubungi aku. Dan aku jamin, aku akan langsung berlari menemuimu. Aku janji.”

Laki-laki ini terlalu menggebu.

“Baiklah.” Jawabku singkat. “Tapi namamu?”

Dia hanya tersenyum. “Biar kau ingat sendiri siapa namaku, Leslie.” Kali ini dia yang memberiku teka-teki. Dan dia mengetahui namaku. Dasar laki-laki aneh.

---

Masih pagi.

Sebagian besar pengungsi sudah mulai bisa menerima keadaan mereka. Terlebih lagi setelah pemerintah Jepang menyetujui proyek pembangunan kembali pemukiman mereka yang telah hancur. Setidaknya mereka sedikit lega. Aku pun juga merasa lega.

Dari kejauhan, aku secara tidak sengaja memandangi laki-laki semalam yang menghampiriku. Dia mengenakan pakaian yang hampir sama dengan pakaianku. Mungkin dia juga seorang relawan dari tim lain di sini. Atau mungkin juga seorang penyusup? Mungkin.

Senyumanku sedikit berkembang. Kala laki-laki itu mulai bertindak aneh. Ada saja benda yang mulai dijatuhkannya, atau bertabrakan dengan anggota relawan lain. Mungkin laki-laki ini punya hobi menabrak orang?

Sekelebat bayangan dirinya tiba-tiba melintas.

Dan saat itu aku merasakan pusing.

Ya Tuhan, tidak mungkin dia adalah laki-laki yang pernah ada dalam kehidupanku sebelumnya, bukan?!

Lima menit kemudian aku bisa mengendalikan rasa sakit ini. Tapi aku masih penasaran, siapa laki-laki itu sebenarnya. Tanpa pikir panjang, aku mulai mencoba mengingat. Meski tidak terlalu memaksa otakku untuk bekerja lebih keras.

Mataku mulai menerawang, pikiranku mulai berjalan ke sana ke mari. Mencari satu titik terang tentang masa laluku. Di mana mungkin saja ada ceritaku dan dia...

Otakku sedikit bekerja lebih baik saat ini. Dia mau menawarkan sedikit kemurahannya untuk menampakkan sepenggal kehidupan masa laluku. Ah, akhirnya.

Ingatanku kini bermuara pada sebuah pantai yang luas dan lengang. Tidak ada apapun yang terhampar di hadapannya. Aku hanya melihatku, melihat diriku yang menatap dalam deru ombak di tengah laut. Aku seolah menunggunya, menunggu sesuatu. Lalu kemudian sebuah kapal feri datang mendekat, dan semakin dekat ke arahku.

Tubuh itu sepertinya milik seorang laki-laki. Nampak kegagahan di situ. Dan benar saja, laki-laki itu memeluk tubuhku erat. Mungkin kami memang sudah lama tidak berjumpa karena kepergiannya.

Namun kemudian... Angin laut mendadak mengencang, dan berhembus berlebihan. Kapal feri yang sebelumnya dinaiki laki-laki itu sudah terbalik di tengah lautan lalu menghilang. Aku berpegang erat pada pinggangnya dan berusaha bersamanya keluar dari keadaan ini. Siapa tahu aku dan dia bisa mencari pertolongan.

Peganganku padanya semakin erat.

Tapi sepertinya nasib tidak ingin aku dan dia bersama.

Ternyata benar, angin yang berlalu begitu kencang memisahkan genggaman kami. Aku terlempar ke selatan, dan dia ke utara.

Ahhhh... Tidak, kepalaku mulai sakit lagi.

“Leslie... Leslie...” Seru sebuah suara, menyadarkanku ke dalam dunia nyata dan berhenti mengingat masa laluku.

Aku masih belum bisa berkonsentrasi untuk mendengarnya dengan jelas.

“Leslie...”

Tanpa kata, aku memeluk tubuh orang yang terus menyeru namaku. Dan aku menangis sejadi-jadinya di atas bahunya.

“Kau mencoba mengingatku, ya? Lalu, apa yang kaudapat?” Tanya si suara tadi.

“Ken...???”

“Ah, akhirnya kau mengingatku, Leslie!”

Apa, aku mengingatnya?

Aku bahkan tidak sadar nama apa yang baru saja terlontar dari bibirku. Dan dia bilang aku mengingatnya?

Aku menggeleng di dalam pelukannya. Sesaat kemudian mencoba melepaskan diriku sambil mengerjapkan mataku dan menatapnya bingung.

“Ken?”

“Ya?” Jawabnya singkat. “Terima kasih karena sudah mengingatku, Leslie.” Tatapannya sangat bersahabat, dan senyuman di bibirnya sangat nyaman kupandang.

“Kau Ken?”

Ken lagi-kagi tersenyum.

Aku Leslie, dan dia Ken. Hanya itu yang kutahu dan bisa kuingat sekarang.

“Tidak apa, aku akan menunggumu sampai kau ingat betul siapa aku. Aku tidak akan lupa janjiku. Sungguh.”

Aku merasa lega mendengar ucapannya. Dan aku pun bertekad untuk meneruskan usahaku sedikit demi sedikit untuk mengingat masa laluku. Semoga memang dia yang ada di masa laluku sebelumnya.

---

Wednesday, March 23, 2011

I WILL LOVE YOU (UNTIL IT'S SUN IN THE DARK)


By: NTan SShee

(@nTansss)

Irama musik hip-hop mengalun kencang dan semakin keras membahana di ruangan dengan deretan alat-alat perekam musik, mixer musik yang sudah dihasilkan, serta soundsystem berukuran raksasa, di mana aku mengulaikan tubuhku lemas di atas sofa panjang seperempuk. Ya, aku memang berada di dalam studio rekaman dan olah vokal. Tidak ada seorang pun di sini. Tidak ada Hong Sajang-nim (Direktur Hong, produser rekamanku) maupun Jeon Goon Hyeong (Kak Jeon Goon, road manager-ku) yang menemani, hanya aku dan tumpukan foto-foto diriku yang harus kububuhi tanda tanganku di baliknya. Sangat membuatku jenuh, seperti biasanya.

Sudah sore, tapi aku masih terkungkung di tempat ini.

Sesekali aku membangunkan tubuhku, dan melihat jalanan kota Seoul yang mulai ramai dipadati orang-orang yang baru selesai bekerja. Distrik Apgujeong memang distrik terbaik di kota ini! Bagaimana tidak, ada banyak toko dengan isi yang menarik di dalamnya. Ada toko baju bermerk, sampai cafe yang membuat perut kenyang karena suguhan menu yang menggugah selera.

Ah,aku jadi lapar.

Tapi aku tidak boleh begitu saja keluar dari gedung ini. Karena aku harus mengerjakan semua tanda tangan ini. Sungguh melelahkan.

“Jun Ho-ya...” Seru sebuah suara dari balik pintu dan membukanya.

Aku terkejut, dan membalikkan pandanganku pada sosok yang menyerukan namaku.

“Ya?”

“Kau punya jadwal sibuk besok. Pulanglah, dan kerjakan tanda tangan ini di apartemenmu. Penggemarmu pasti tidak suka melihatmu memiliki mata panda seperti itu jika kau terlalu lelah.” Kata Jeon Goon Hyeong. Dia memang orang yang paling mengerti diriku.

“Baiklah, Hyeong. Aku akan pulang, dan kembali ke sini esok hari untuk melanjutkan promosi.”

Aku pun segera mengemasi barang-barangku; tas ransel hitam pemberian seseorang yang terlalu berarti bagiku sehingga selalu kubawa kemana-mana, kacamata hitam yang kuletakkan begitu saja di atas meja dekat tumpukan fotoku, serta IPad yang masih menyala dan kubiarkan.

---

“Untuk dia yang meninggalkanku, lagu ini khusus untukmu.” Ucapku pada penutupan meet and greet hari ini. Seluruh penggemar yang sebagian besar adalah perempuan bersorak riuh. Entahlah, mengamini ucapanku atau malah merasa kesal karena cemburu pada penyanyi idolanya ini.

Dan aku mulai menyanyikan lagu itu, lagu berjudul I Will Love You, Until It’s Sun in the Dark, yang kubuat satu tahun yang lalu, khusus untuknya. Seseorang yang telah meninggalkanku, meninggalkan banyak kenangan untukku.

Satu menit pertama lagu itu, aku menyanyikannya dengan sempurna. Banyak orang yang mengatakan suaraku ini unik, makanya aku terkenal. Tidak sedikit orang juga yang mengatakan aku pandai bernyanyi dan bereksplorasi vokal. Itu kata mereka. Tapi pada menit selanjutnya, mataku mulai menerawang. Bagai tidak tahan, aku mulai meneteskan air mataku di balik kacamata hitam yang kukenakan. Suaraku mulai melirih. Dan para penggemarku yang berdiri tepat di hadapanku (yang saat ini berkisar dua ratus orang) mulai berteriak bersamaan.

Uljima... Uljima...” Ucap mereka sambil menggoyang-goyangkan papan nama yang mereka bawa beserta poster-poster bergambar diriku.

Uljima berarti jangan menangis, kata-kata itu yang bahkan keluar dari para penggemarku, tidak bisa menghentikan emosiku sekarang. Sepertinya dada ini terlalu sesak untuk menahannya.

Uljima... Uljima...

Mereka terus saja beryel-yel seperti itu. Di akhir lagu, aku pun bisa mengendalikan emosiku dan menunjukkannya pada mereka, seraya membungkukkan tubuhku tanda terima kasihku pada mereka yang telah hadir, kemudian berlalu begitu saja ke dalam ruang rias.

Aku (akhirnya) mengeluarkan air mataku lagi, di ruang rias.

“Hey, Jun Ho! Kau ini laki-laki, buat apa menangis seperti itu?!” Ujar Jeon Goon Hyeong dengan nada yang memberiku semangat.

Aku masih tak bergeming.

“Sudahlah. Berakhirnya suatu hubungan tidak harus ditangisi dan disedihi seperti ini, bukan? Lagipula, bukankah itu sudah lama berlalu? Kau harus segera mencari penggantinya.”

“Seharusnya. Tapi...” Ucapku sambil masih menangis. “Aku bahkan rela menyusulnya, Hyeong.” Lanjutku nampak putus asa.

Jeon Goon Hyeong hanya menatapku kasihan.

Ya, hubungan percintaanku memang sudah lama berakhir. Berakhir? Ya, mungkin memang benar berakhir.Namun harus kuakui, menghapus apapun tentang dirinya malah membuatku semakin sakit.

---

“Eun Ji-ya... Aku datang...” Kalimat pertama yang meluncur dari bibirku pagi ini.

Perlahan aku melangkahkan kakiku ke depan pusara berbalut rumput segar yang nampak menggemuk karena berada di dekat bukit. Bunga tulip berwarna putih kesukaannya serta sebotol soju –arak khas Korea–, yang kujinjing dari dalam mobilku, kuletakkan hati-hati ke sebelah makamnya.

“Bunga tulip, seperti biasa. Untukmu, Eun Ji.” Ujarku sambil memindahkan bunga tulip putih itu ke atas pusara.

Aku masih meratapi kepergian Eun Ji hingga hari ini. Di mana tepat satu tahun dia pergi tanpa pesan.

“Eun Ji-ya...” Aku mulai berbicara sendiri pada pusaranya. “Aku berhasil membuatnya, lagu itu, lagu yang beberapa hari yang lalu pernah kunyanyikan untukmu di sini, aku berhasil memasukkannya ke dalam album keduaku. Sangat bagus, bukan?” Seruku sambil terus memperhatikan foto Eun Ji bersamaku yang terpampang di dekat bunga tulip.

“Kau mau mendengarnya lagi? Ah, baiklah-baiklah. Penyanyi idola paling terkenal di Korea ini, akan menyanyikannya spesial untukmu!”

Aku kemudian mulai menyenandungkan lagu itu sendirian, khusus untuknya.

I will love You...

Until it’s sun in the dark

I will love You...

Until there’s a light when it’s a night

Damn, I just can’t forget You

This love, will never end

You know what it means to be

Dear, I love You...

I will love You...

Until it’s sun in the dark

Though You gone far

Though You burnt and lost

Though You’re not even here

Dear, I love You

Sejenak aku termenung, mengingat kembali hari terakhirku bersama Eun Ji saat itu.

“Eun Ji-ya. Aku janji, di depan makammu ini, aku akan mencintaimu, selamanya. Walaupun ragamu tidak ada lagi di sini, aku tetap akan mencintaimu. Tidak akan berhenti. Kau harus ingat itu, ya, Eun Ji.” Aku pun mulai berikrar sendiri. Dan tetesan air mata mulai memenuhi pipiku, keduanya.

---

Wednesday, March 16, 2011

HEY, Kembalilah!


By: NTan SShee

(@nTansss)

Sudah tengah malam lagi.

Dan lagi-lagi aku terbangun, seperti biasanya. Aku hanya terpejam seketika.

Insomniaku masih belum berhenti, meski pil depresi sudah beberapa kali kutenggak hari ini, sampai-sampai kepalaku pusing karena (mungkin) kelebihan dosis. Mataku menerawang, memperhatikan tiap sudut kamar apartemenku yang sama sekali tidak berubah, menjadi lebih sempit maupun lebih lebar. Semuanya sama saja seperti sebelum aku terlelap sangat sebentar tadi.

Memaksa tubuhku bangun, dan menggapai netbook putih yang sengaja kuletakkan di sebelah kepalaku, di atas kasur. Membukanya, menyalakan tombol ON-nya, memasukkan password namaku dan “dia”, dan meratap. Wallpaper netbook-ku masih sama seperti hari-hari lalu, hasil scan sketsa aslinya yang hitam-putih, gambar favoritku sepanjang masa; sunset di atas bukit yang indah. Langit yang menguning, kemerahan, lalu menjadi hitam, pekat dan gelap. Perlahan namun pasti.

Aku memandangi sketsa itu, memandangi wallpaper-ku.

Dalam, semakin tajam.

Bagai menghujam jantung, napasku tercekat. Kepalaku semakin pusing. Lalu aku mencoba berdiri dan meninggalkan netbook-ku sebentar, menuju jendela besar di dekat kasurku. Jendela dengan gordyn yang sengaja tidak pernah kututup, agar suasana kota tetap bisa kunikmati tiap harinya dari tingkat ke-sembilan ini. Ya, apartemenku berada di tengah kota Seoul yang sangat padat, di distrik Samseong.

Mataku menangkap mobil-mobil dengan jumlah yang tidak banyak, yang masih berseliweran di jalanan sekitar distrik ini, tengah malam begini. Hampir jam satu pagi.

Aku kembali ke atas kasur, mulai bergulat dengan netbook-ku. Memastikan Wi-Fi internet sudah menyala dan terhubung dengan jaringan yang disediakan secara gratis oleh apartemenku, kemudian membuka browser dan mulai memasukkan URL blog-ku.

Setelah memasukkan sandi, dashboard blog-ku pun ditampilkan, dan banyak pesan di dalamnya. Komentar dari pembacaku yang (iseng) mampir dan membaca tulisan-tulisan di blog ini, blog yang kuberi nama Jji-Jji. Entah bagaimana aku menemukan nama itu, tapi aku menyukainya. Aku bahkan menamai boneka kucing kesayanganku (yang selalu aku pajang di dekat televisi berlayar LCD-ku di kamar apartemenku) dengan nama itu, Jji-Jji. Komentar-komentar dari orang-orang yang membaca itu (aku biasa menyebut mereka sebagai penggemar, maaf) aku selalu memperhatikan tiap kata-kata mereka. Bisa jadi kritik yang mereka tulis itu menjadi bahan refleksi tulisanku, bahkan menenangkan pikiranku atas ide-ide gila yang kutulis pada tiap tulisan yang ku-posting.

“Nice written. Good job. Go straight, Jji-Jji!”

“Hey, tulislah sesuatu yang lebih baik, yang lebih bahagia. Aku bosan membaca semua kesedihan di dalam blog ini.”

“Jji-Jji, kemana jiwamu yang bersemangat? Jangan terkulai lemas terus, bangkitlah.”

“Apa-apaan ini? Mengapa hanya ada dua postingan bahagia di dalamnya?”

Dan berbagai komentar lain yang membuka mataku pagi ini, saat mataku masih juga tidak mau terpejam.

Aku selalu meng-update blog ini tiap hari. Ada saja sesuatu yang selalu kupikirkan dan melintas di otakku, dan kemudian tanpa sadar memasukkannya ke dalam sini. Satu posting, dua posting, kini blog ini sudah punya lebih dari tiga ratus postingan. Padahal umur blog ini baru enam bulan, tepatnya enam bulan lima hari, waktu yang sama setelah dia meninggalkanku di sini, sendirian. Dan aku mulai mengidap insomnia sialan ini.

Aku memulai entry baru, sebuah postingan yang setiap hari kumasukkan dengan judul dan isi yang sama, It’s alright.

It’s alright. Even with just those words.

If I could embrace your uneasy nights, until the time you fall asleep.

I will just become a blanket and hug you.

Puisi, atau mungkin hanya sebuah tulisan sederhana, yang setiap hari tidak lupa kusisipkan ke dalam blog ini sebagai pembuka postingan-postingan-ku selanjutnya. Setiap hari itu pula, penggemar blog ini protes, karena menyisipkan tulisan yang sama. Biar saja, aku hanya ingin menyisipkannya dan tidak melupakan tulisan itu.

Baiklah, tulisan itu memang bukan hasil karyaku, tapi aku menyukainya, sangat. Tulisan itu adalah tulisannya, satu hari sebelum dia benar-benar pergi dan meninggalkanku. Tidak kembali. Bahkan tanpa pesan di celah pintu apartemenku (dia dulu sering melakukannya, menyelipkan pesan-pesan aneh tapi mengasyikkan, ke apartemenku, melalui celah pintu).

Andai saja tulisan itu terjadi, aku tidak akan sedepresi ini, tidak akan mengalami penyakit semenyebalkan ini. Sekali lagi, aku membenci keadaan ini.

---

Tengah malam ini, seperti biasanya, aku terbangun dari pejaman mata yang sama sekali tidak bisa dibilang tidur, apalagi nyenyak.

“Jagi-ya... Hyeona-ya...”

Sebuah suara muncul dari dalam handphone-ku. Dering ringtone yang semakin kubenci. Ringtone suaranya.

Jagi –yang berarti my baby dalam bahasa Korea– adalah nama kesayanganku, yang selalu dia ucapkan. Tidak ada orang lain memanggilku seperti itu.

Aku tercekat.

Aku memaksa otakku untuk memerintahkan tangan ini menggapai benda yang berada di atas laci tempat kumeletakkan lampu tidur kristalku, dan memperhatikan dengan seksama layar handphone.

“Jagi-ya... Hyeona-ya...”

Dering ringtone kembali menyapaku, dan aku masih terpapar dengan mulut sedikit menganga, membaca deretan huruf yang muncul di layar handphone. Aku masih terbelenggu begitu saja, belum bergerak.

U-R-I J-U-N-H-Y-E-O-N-G-I. Begitu huruf-hurufnya, dan memiliki arti ‘my-Junhyeong’.

“Jagi-ya... Hyeona-ya...”

“Yo-yo-yobuseyo...???” Sapaku mengatakan ‘halo’ sambil terbata.

“Jagi-ya...” Suara lelaki di ujung telepon juga sedikit terbata, seperti suara yang keluar dari leher yang sedang dicekik, suara yang tipis dan makin lama makin menipis. “Jagi-ya...”

“Yo-yo-yobuseyo?” Aku kembali mengatakan ‘halo’. Napasku tercekat seketika. “Jun Hyeong-i?” Tanyaku menebak suara terbata itu.

Aku tiba-tiba merasa takut.

Tiba-tiba pula sambungan telepon berhenti, terputus. Dering ‘nut-nut-nut’ terdengar, dan aku baru tersadar kalau teleponnya sudah mati.

“Jun Hyeong-i...” Suaraku terdengar lemah, memanggil namanya di lubang handphone, masih berharap dia muncul lagi dengan suaranya.

Dugaanku salah, dan dia sama sekali tidak mengulangi panggilannya.

Aku menengadahkan kepalaku, melihat waktu yang ditunjukkan jam dindingku. Setengah tiga pagi.

---

Pukul tujuh pagi.

Empat setengah jam sudah aku terpaku pada posisi ini; terjerembab di atas kasur, dengan handphone yang selalu kupegangi dengan tangan kananku, dan netbook yang masih menyala di samping tubuhku tanpa ada aktivitas berarti yang dijalankannya.

Aku masih berharap ada panggilan lain.

Aku pun memeriksa log panggilan yang masuk. Mencari daftar panggilan telepon yang masuk ke dalam memory handphone-ku, mengeceknya satu per satu.

Omma. –Ibu–

Appa. –Ayah–

Ji Yeon Onnie. –Kak Ji Yeon–

Dan sederet nama teman-teman kerjaku yang kemarin sampai tempo hari menelepon. Tidak ada nama Jun Hyeong. Baik di dalam log panggilan yang kuterima, yang terlewatkan, maupun yang ku-reject.

---

Sabtu pagi, satu minggu kemudian.

Aku berdiri tepat di depan halte bus, tempat di mana aku dan Jun Hyeong biasa menanti bus bersama. Tepatnya enam bulan lebih dua minggu yang lalu, hari terakhir kami bersama dan menghabiskan hari di taman hiburan Lotte, kemudian menanti bus kami ke distrik apartemen.

Memory tentang Jun Hyeong sekelebatan berlalu-lalang bagai roll film yang terputar dengan mulus di hadapanku. Tiap ingatan yang lucu, mengesalkan, indah, hingga menyesakkan hati ini sampai sekarang.

Jun Hyeong yang memamerkan keahliannya memutarbalikkan topi kesayangannya, Jun Hyeong yang pandai membuat berbagai bentuk unik dari ranting-ranting pohon di sekitar kami, Jun Hyeong yang berlari mengejarku di dalam Korail –MRT khusus di Korea Selatan– karena ketinggalan jadwal, Jun Hyeong yang tertawa geli karena melihat acara gag concert –program sketsa komedi– di televisi, dan Jun Hyeong yang... Jun Hyeong yang... Jun Hyeong yang sedang berlari ke arahku dan mendorong tubuhku terjatuh ke sisi jalan, Jun Hyeong yang kemudian... Tertabrak, truk.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, masih berharap aku hanya bermimpi.

“Jun Hyeong-i...” Sahutku memanggil namanya. “Jun Hyeong-i, kembalilah... Aku... Aku membutuhkanmu, Jun Hyeong.”

Pikiranku kosong, seolah masih melihat dengan jelas kenangan itu, kenangan buruk.

Aku ingin dia kembali, ke sini, di sampingku.

Jun Hyeong seolah melambaikan tangannya padaku, sesaat setelah tubuhnya sedikit hancur. Aku berlari dan mencoba meraih tangannya.

Aku berlari, menuju fantasiku sendiri. Dan akhirnya menggapai erat tangan Jun Hyeong.

Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn....

Suara klakson truk berwarna oranye masih tidak membangunkanku. Tidak, sebenarnya aku tahu ada truk di situ, hanya saja tubuhku seolah menjadi kaku, dan sulit digerakkan.

Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn....

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn.............

Klakson itu berhenti, dan truk sudah ada di atas tubuhku. Seketika aku remuk, hancur.

---