Wednesday, March 16, 2011

HEY, Kembalilah!


By: NTan SShee

(@nTansss)

Sudah tengah malam lagi.

Dan lagi-lagi aku terbangun, seperti biasanya. Aku hanya terpejam seketika.

Insomniaku masih belum berhenti, meski pil depresi sudah beberapa kali kutenggak hari ini, sampai-sampai kepalaku pusing karena (mungkin) kelebihan dosis. Mataku menerawang, memperhatikan tiap sudut kamar apartemenku yang sama sekali tidak berubah, menjadi lebih sempit maupun lebih lebar. Semuanya sama saja seperti sebelum aku terlelap sangat sebentar tadi.

Memaksa tubuhku bangun, dan menggapai netbook putih yang sengaja kuletakkan di sebelah kepalaku, di atas kasur. Membukanya, menyalakan tombol ON-nya, memasukkan password namaku dan “dia”, dan meratap. Wallpaper netbook-ku masih sama seperti hari-hari lalu, hasil scan sketsa aslinya yang hitam-putih, gambar favoritku sepanjang masa; sunset di atas bukit yang indah. Langit yang menguning, kemerahan, lalu menjadi hitam, pekat dan gelap. Perlahan namun pasti.

Aku memandangi sketsa itu, memandangi wallpaper-ku.

Dalam, semakin tajam.

Bagai menghujam jantung, napasku tercekat. Kepalaku semakin pusing. Lalu aku mencoba berdiri dan meninggalkan netbook-ku sebentar, menuju jendela besar di dekat kasurku. Jendela dengan gordyn yang sengaja tidak pernah kututup, agar suasana kota tetap bisa kunikmati tiap harinya dari tingkat ke-sembilan ini. Ya, apartemenku berada di tengah kota Seoul yang sangat padat, di distrik Samseong.

Mataku menangkap mobil-mobil dengan jumlah yang tidak banyak, yang masih berseliweran di jalanan sekitar distrik ini, tengah malam begini. Hampir jam satu pagi.

Aku kembali ke atas kasur, mulai bergulat dengan netbook-ku. Memastikan Wi-Fi internet sudah menyala dan terhubung dengan jaringan yang disediakan secara gratis oleh apartemenku, kemudian membuka browser dan mulai memasukkan URL blog-ku.

Setelah memasukkan sandi, dashboard blog-ku pun ditampilkan, dan banyak pesan di dalamnya. Komentar dari pembacaku yang (iseng) mampir dan membaca tulisan-tulisan di blog ini, blog yang kuberi nama Jji-Jji. Entah bagaimana aku menemukan nama itu, tapi aku menyukainya. Aku bahkan menamai boneka kucing kesayanganku (yang selalu aku pajang di dekat televisi berlayar LCD-ku di kamar apartemenku) dengan nama itu, Jji-Jji. Komentar-komentar dari orang-orang yang membaca itu (aku biasa menyebut mereka sebagai penggemar, maaf) aku selalu memperhatikan tiap kata-kata mereka. Bisa jadi kritik yang mereka tulis itu menjadi bahan refleksi tulisanku, bahkan menenangkan pikiranku atas ide-ide gila yang kutulis pada tiap tulisan yang ku-posting.

“Nice written. Good job. Go straight, Jji-Jji!”

“Hey, tulislah sesuatu yang lebih baik, yang lebih bahagia. Aku bosan membaca semua kesedihan di dalam blog ini.”

“Jji-Jji, kemana jiwamu yang bersemangat? Jangan terkulai lemas terus, bangkitlah.”

“Apa-apaan ini? Mengapa hanya ada dua postingan bahagia di dalamnya?”

Dan berbagai komentar lain yang membuka mataku pagi ini, saat mataku masih juga tidak mau terpejam.

Aku selalu meng-update blog ini tiap hari. Ada saja sesuatu yang selalu kupikirkan dan melintas di otakku, dan kemudian tanpa sadar memasukkannya ke dalam sini. Satu posting, dua posting, kini blog ini sudah punya lebih dari tiga ratus postingan. Padahal umur blog ini baru enam bulan, tepatnya enam bulan lima hari, waktu yang sama setelah dia meninggalkanku di sini, sendirian. Dan aku mulai mengidap insomnia sialan ini.

Aku memulai entry baru, sebuah postingan yang setiap hari kumasukkan dengan judul dan isi yang sama, It’s alright.

It’s alright. Even with just those words.

If I could embrace your uneasy nights, until the time you fall asleep.

I will just become a blanket and hug you.

Puisi, atau mungkin hanya sebuah tulisan sederhana, yang setiap hari tidak lupa kusisipkan ke dalam blog ini sebagai pembuka postingan-postingan-ku selanjutnya. Setiap hari itu pula, penggemar blog ini protes, karena menyisipkan tulisan yang sama. Biar saja, aku hanya ingin menyisipkannya dan tidak melupakan tulisan itu.

Baiklah, tulisan itu memang bukan hasil karyaku, tapi aku menyukainya, sangat. Tulisan itu adalah tulisannya, satu hari sebelum dia benar-benar pergi dan meninggalkanku. Tidak kembali. Bahkan tanpa pesan di celah pintu apartemenku (dia dulu sering melakukannya, menyelipkan pesan-pesan aneh tapi mengasyikkan, ke apartemenku, melalui celah pintu).

Andai saja tulisan itu terjadi, aku tidak akan sedepresi ini, tidak akan mengalami penyakit semenyebalkan ini. Sekali lagi, aku membenci keadaan ini.

---

Tengah malam ini, seperti biasanya, aku terbangun dari pejaman mata yang sama sekali tidak bisa dibilang tidur, apalagi nyenyak.

“Jagi-ya... Hyeona-ya...”

Sebuah suara muncul dari dalam handphone-ku. Dering ringtone yang semakin kubenci. Ringtone suaranya.

Jagi –yang berarti my baby dalam bahasa Korea– adalah nama kesayanganku, yang selalu dia ucapkan. Tidak ada orang lain memanggilku seperti itu.

Aku tercekat.

Aku memaksa otakku untuk memerintahkan tangan ini menggapai benda yang berada di atas laci tempat kumeletakkan lampu tidur kristalku, dan memperhatikan dengan seksama layar handphone.

“Jagi-ya... Hyeona-ya...”

Dering ringtone kembali menyapaku, dan aku masih terpapar dengan mulut sedikit menganga, membaca deretan huruf yang muncul di layar handphone. Aku masih terbelenggu begitu saja, belum bergerak.

U-R-I J-U-N-H-Y-E-O-N-G-I. Begitu huruf-hurufnya, dan memiliki arti ‘my-Junhyeong’.

“Jagi-ya... Hyeona-ya...”

“Yo-yo-yobuseyo...???” Sapaku mengatakan ‘halo’ sambil terbata.

“Jagi-ya...” Suara lelaki di ujung telepon juga sedikit terbata, seperti suara yang keluar dari leher yang sedang dicekik, suara yang tipis dan makin lama makin menipis. “Jagi-ya...”

“Yo-yo-yobuseyo?” Aku kembali mengatakan ‘halo’. Napasku tercekat seketika. “Jun Hyeong-i?” Tanyaku menebak suara terbata itu.

Aku tiba-tiba merasa takut.

Tiba-tiba pula sambungan telepon berhenti, terputus. Dering ‘nut-nut-nut’ terdengar, dan aku baru tersadar kalau teleponnya sudah mati.

“Jun Hyeong-i...” Suaraku terdengar lemah, memanggil namanya di lubang handphone, masih berharap dia muncul lagi dengan suaranya.

Dugaanku salah, dan dia sama sekali tidak mengulangi panggilannya.

Aku menengadahkan kepalaku, melihat waktu yang ditunjukkan jam dindingku. Setengah tiga pagi.

---

Pukul tujuh pagi.

Empat setengah jam sudah aku terpaku pada posisi ini; terjerembab di atas kasur, dengan handphone yang selalu kupegangi dengan tangan kananku, dan netbook yang masih menyala di samping tubuhku tanpa ada aktivitas berarti yang dijalankannya.

Aku masih berharap ada panggilan lain.

Aku pun memeriksa log panggilan yang masuk. Mencari daftar panggilan telepon yang masuk ke dalam memory handphone-ku, mengeceknya satu per satu.

Omma. –Ibu–

Appa. –Ayah–

Ji Yeon Onnie. –Kak Ji Yeon–

Dan sederet nama teman-teman kerjaku yang kemarin sampai tempo hari menelepon. Tidak ada nama Jun Hyeong. Baik di dalam log panggilan yang kuterima, yang terlewatkan, maupun yang ku-reject.

---

Sabtu pagi, satu minggu kemudian.

Aku berdiri tepat di depan halte bus, tempat di mana aku dan Jun Hyeong biasa menanti bus bersama. Tepatnya enam bulan lebih dua minggu yang lalu, hari terakhir kami bersama dan menghabiskan hari di taman hiburan Lotte, kemudian menanti bus kami ke distrik apartemen.

Memory tentang Jun Hyeong sekelebatan berlalu-lalang bagai roll film yang terputar dengan mulus di hadapanku. Tiap ingatan yang lucu, mengesalkan, indah, hingga menyesakkan hati ini sampai sekarang.

Jun Hyeong yang memamerkan keahliannya memutarbalikkan topi kesayangannya, Jun Hyeong yang pandai membuat berbagai bentuk unik dari ranting-ranting pohon di sekitar kami, Jun Hyeong yang berlari mengejarku di dalam Korail –MRT khusus di Korea Selatan– karena ketinggalan jadwal, Jun Hyeong yang tertawa geli karena melihat acara gag concert –program sketsa komedi– di televisi, dan Jun Hyeong yang... Jun Hyeong yang... Jun Hyeong yang sedang berlari ke arahku dan mendorong tubuhku terjatuh ke sisi jalan, Jun Hyeong yang kemudian... Tertabrak, truk.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, masih berharap aku hanya bermimpi.

“Jun Hyeong-i...” Sahutku memanggil namanya. “Jun Hyeong-i, kembalilah... Aku... Aku membutuhkanmu, Jun Hyeong.”

Pikiranku kosong, seolah masih melihat dengan jelas kenangan itu, kenangan buruk.

Aku ingin dia kembali, ke sini, di sampingku.

Jun Hyeong seolah melambaikan tangannya padaku, sesaat setelah tubuhnya sedikit hancur. Aku berlari dan mencoba meraih tangannya.

Aku berlari, menuju fantasiku sendiri. Dan akhirnya menggapai erat tangan Jun Hyeong.

Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn....

Suara klakson truk berwarna oranye masih tidak membangunkanku. Tidak, sebenarnya aku tahu ada truk di situ, hanya saja tubuhku seolah menjadi kaku, dan sulit digerakkan.

Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn.... Tiiiinnnn....

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn.............

Klakson itu berhenti, dan truk sudah ada di atas tubuhku. Seketika aku remuk, hancur.

---

2 comments:

  1. Tulisanmu sudah mulai 'mendalam' :D

    ReplyDelete
  2. setuju sama wulan,bahkan endingnya bikin gw sdikit merinding.

    2 thumbs up!

    ReplyDelete